PRIA SETENGAH BAYA itu sedang bercengkerama dengan beberapa laki-laki muda. Ada yang tertawa-tawa. Namun tawa mereka terhenti saat salah satu dari empat handphone yang diletakkan berjejer di lantai berkarpet berbunyi.
Dwi, sebut saja demikian, langsung meraih HP. Rupanya ada pelanggan yang memintanya mengirim ‘kucing’-nya di depan Terminal Tirtonadi untuk dibawa kencan ke sebuah hotel. Ada ‘oleh-oleh dua buah semangka segar untuk sang kucing’, begitu SMS susulan yang diterima Dwi.
Ya, sebutannya memang ‘kucing’. Namun kucing yang diminta dalam SMS tersebut bukan hewan yang doyan ikan asin atau minum susu segar. Kucing itu sebutan bagi para pria pekerja seks yang melayani tamu khusus laki-laki.
“Siapa yang mau kukirim. Ayo, siapa yang doyan semangka,” tawar sang germo, Dwi, yang disambut gelak tawa riuh tiga kucingnya, Selasa siang itu (7 Desember).
“Ah kalau diana sedang nepsong suruh sindang. Biar akika tahu kayak apa? Cucok ya? Ih mayang sari,” ujar salah satu lelaki muda dengan omongan di dunia mereka. Kalimat itu memiliki arti “Kalau dia sedang nafsu disuruh ke sini saja. Biar saya tahu seperti apa Cakep ya. Mau sekali”.
“Tinta. Akika tahu itu pasti candaan. Pasti ini akika lagi dikerjain [Tidak. Aku tahu itu pasti candaan. Aku pasti sedang dikerjain],” sahut kucing yang lain.
Sang germo pun tertawa terbahak. Siang perlahan pergi saat satu per satu lelaki pekerja seks di bawah naungan Dwi berdatangan. Satu kucing tampaknya berhasil menarik perhatian komunitas itu karena usianya yang relatif muda--baru semester dua di sebuah perguruan tinggi di Kota Bengawan. Bisik-bisik segera terdengar.
Dwi menjamin rumahnya yang selama ini dikenal publik sebagai panti pijat tidak akan mampu menampung ke-30 orang kucingnya apabila mereka datang bersamaan. Oleh sebab itu, dia harus pintar-pintar mengatur jadwal kucing-kucingnya dalam bekerja.
“Seperti SMS yang saya terima ini. Kalau ada tamu yang mau main-main kan ya tidak harus di sini. Bisa di hotel atau di mana saja. Yang penting semua jalan,” jelas Dwi.
Bukan hanya mengatur jadwal dalam satu kota, Dwi mengaku kadang penjadwalan itu bisa menembus batas kota atau bahkan provinsi. Bahkan untuk kucing yang sudah profesional menurut Dwi bisa mengatur jadwalnya sendiri.
Leo, sebut saja begitu, adalah salah satu kucing yang pernah sukses menjadi manajer bagi dirinya sendiri. Dia belasan tahun melanglang buana di hampir semua kota-kota besar di Indonesia.
“Agar pelanggan tidak bosan, kami biasa berpindah-pindah tempat. Memang sekarang ini saya sudah istirahat. Jadi Solo saja sudah cukup. Tapi kalau dulu saya bisa ke mana-mana mulai dari Jakarta, Bandung, Surabaya, Semarang, Medan dan masih banyak lagi yang lain. Istilahnya sudah kenyang rolling-an lah,” cerita Leo.
Selain pasar di mana-mana, konsumennya juga beragam. Agus yang berusia 24 tahun bercerita pelanggannya dari kalangan muda sampai tua, miskin sampai kaya.
Wajah Baru
Dalam bisnis ini, Dwi tak berpromosi melalui media massa atau selebaran. Menurutnya, yang beriklan melalui media massa adalah wajah-wajah baru. Toh, tanpa beriklan, jumlah pelanggannya mencapai ratusan orang mulai dari sekelas sopir, penarik becak hingga pejabat.
Bukan hanya mengandalkan nama besar, Dwi mengaku paket ekonomis yang menjadi andalan panti pijatnya juga bisnisnya laris. Hanya dengan Rp20.000, pelanggan bisa mendapatkan pelayanan satu orang kucing plus satu kamar gratis selama satu jam. “Murah kan? Itulah sebabnya panti-pijat di sini laris manis,” jelasnya.
Dwi mengaku rata-rata keuntungan bersih dari menyewakan kamar Rp 150.000/hari. Itu belum dari pendapatan lain-lain.
Tak takutkah Dwi apabila suatu saat ada aparat penegak hukum yang menggerebek panti pijatnya?
“Tentu tidaklah. Kan dari depan rumah sampai ruang tengah sudah saya pasang banyak kebaya untuk disewakan. Kalau masih curiga, silakan tanya tetangga sekitar sini. Tahunya mereka saya ini tukang pijat profesional. Bahkan karena dianggap orang pintar, banyak yang datang ke sini untuk cari peruntungan,” lanjutnya sambil tersenyum lebar.
Gessang, sebuah LSM yang concern terhadap keberadaan para kucing maupun gigolo di Soloraya mengklaim ada 190 pria pekerja seks yang masih aktif. Jumlah yang tak sedikit memang. Walau jumlah tersebut bisa berubah-ubah, namun menurut Koordinator Gessang, M Slamet, penambahan atau pengurangannya tidak begitu signifikan.
Menurut Slamet, pria pekerja seks ini tidak mendapat perhatian layak dari Pemerintah Kota (Pemkot) dibandingkan dengan wanita pekerja seks. Padahal bagi Gessang, pria pekerja seks ini jauh lebih rentan terkena maupun menyebarkan virus HIV/AIDS.
Diibaratkannya, mereka adalah irisan dari tiga lingkaran. Mereka bisa menularkan HIV/AIDS ke sesamanya, pelanggan laki-laki, pelanggan perempuan hingga istri di rumah.
“PPS bisa menularkan HIV AIDS ke sesamanya karena batas antara pekerja maupun pelanggan sangat cair. Suatu saat dia bisa sebagai kucing namun di saat lain dia bisa jadi pelanggan. Yang namanya kucing, dia bisa jajan laki-laki sementara yang gigolo setelah punya uang dia bisa datang ke lokalisasi,” tandasnya.
Hal senada disampaikan konsultan Komisi Penanggulangan AIDS Solo yang juga pengajar sosiologi UNS, Argyo Demantoto. “Mencari dan mengawasi wanita pekerja seks jauh lebih mudah dibandingkan pria pekerja seks. Masyarakat bisa melihat kan, banyak lokalisasi untuk wanita pekerja seks sementara untuk pria tidak ada. Mereka justru tersebar di berbagai titik sehingga baik pemerintah maupun LSM kesulitan ketika hendak memantau.”
Argyo menambahkan, berdasarkan survei KPA, faktor yang paling memengaruhi seorang hingga bersedia menggeluti pekerjaan itu adalah ekonomi.
Masih terkait fenomena penyebaran HIV/AIDS di Kota Bengawan, apa yang dikhawatirkan Slamet maupun Argyo memang tak berlebihan. Walau gigolo relatif banyak namun keberadaan mereka hingga saat ini masih luput dari pendataan Pemkot khususnya Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Dinsosnakertrans).
Faktanya untuk penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS), Dinsosnaker hanya mendata mereka yang berjenis kelamin perempuan.
Namun luputnya pendataan PPS ini menurut Kepala Dinsosnakertrans, Singgih Yudoko tak bisa dikategorikan sebagai sebuah kelalaian melainkan ada dasarnya. Dia menjelaskan berdasarkan UU No 11/2009 tentang Kesejahteraan Sosial yang termasuk PMKS hanyalah wanita pekerja seks.
Soal pria pekerja seks, Singgih malah balik bertanya tentang komunitas tersebut. “Apa memang di Solo ada,” ujarnya.
Keheranan serupa juga dilontarkan Sekretaris Komisi IV DPRD Solo, Abdul Ghofar. “Sepertinya salah alamat kalau masalah seperti ini ditanyakan kepada saya. Apa memang di Solo, maaf, gigolo itu ada?” kata Ghofar. (Ayu Prawitasari/ea)