Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

SERBA SERBI: Kebablasan PERS

Tanggal 9 Februari selalu dikenang sebagai Hari Pers Nasional. Saat itu, sejumlah insan suratkabar menggelar pertemuan untuk membentuk Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), tepatnya pada 9 Februari 1946.

Tanggal 9 Februari selalu dikenang sebagai Hari Pers Nasional. Saat itu, sejumlah insan suratkabar menggelar pertemuan untuk membentuk Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), tepatnya pada 9 Februari 1946.

 

Namun, usulannya sendiri baru tercetus pada Kongres ke-16 PWI di Padang, yang saat itu masih dipimpin Harmoko (mantan Menteri Penerangan zaman Soeharto), namun baru disetujui pada 1985 melalui Kepres No. 5/1985.

 

Organisasi pers

Namun, PWI ternyata bukan organisasi wartawan pertama yang didirikan di Indonesia, karena pada zaman penjajahan Belanda, sejumlah organisasi wartawan telah berdiri dan menjadi wadah organisasi para wartawan. Satu di antaranya yang paling menonjol adalah Inlandsche Journalisten Bond (IJB) yang berdiri pada 1914 di Surakarta.

 

Selain IJB, organisasi wartawan lainnya adalah Sarekat Journalists Asia (berdiri 1925), Perkumpulan Kaoem Journalists (1931), serta Persatoean Djurnalis Indonesia (1940). Berbagai organisasi wartawan tersebut tidak berumur panjang akibat tekanan dari pemerintahan kolonial.

 

Persoalan pers dari masa ke masa adalah masalah kebebasan. Bila mengacu pada Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers pasal 4 di dalam ayat 1 disebutkan bahwa kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara, ayat kedua bahwa terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran, ayat ketiga bahwa untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi dan ayat keempat bahwa dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum, wartawan mempunyai Hak Tolak bahkan dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945 disebutkan antara lain dalam pasal 28F bahwa setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.

 

Kebebasan pers

Sejak reformasi bergulir pada 1998, pers Indonesia untuk pertama kalinya menikmati kebebasan yang luar biasa, di mana dalam satu dasawarsa ini tidak ada sama sekali pembredelan terhadap pers Indonesia.

 

Sebelumnya, dalam perjalanan panjang sejarah pers di tanah air, selalu ada masa-masa kelam berupa pembredelan terhadap koran dan majalah yang dinilai menyimpang oleh pihak penguasa. Sebut saja sejak masa pemerintahan Orde Lama dan Orde Baru.

 

Pembredelan terhadap pers di Indonesia pada awalnya merupakan warisan dari Pemerintah Hindia Belanda yang menetapkan Persbreidel-Ordonantie 7 September 1931 seperti yang dimuat dalam Staatsblad 1931 nomor 394 jo Staatsblad 1931 nomor 44.

 

Pembredelan dan tekanan terhadap pers terus berlanjut selama masa pemerintahan Orde Lama (1967) dan berlanjut sepanjang masa Orde Baru (1967-1998), menyebabkan banyak surat kabar dan majalah ditutup dan mendapat tekanan untuk tidak memberitakan sesuatu peristiwa atau informasi yang secara sepihak oleh pemerintah dinilai tidak layak.

 

Sayang, tak semua kisah kebebasan pers yang berbarengan dengan meningkatnya kuantitas perusahaan pers ini berdampak positif.

 

Karena selama itu pula berbagai penyimpangan pun terjadi. Penyimpangan tersebut secara tidak langsung tertuju pada fenomena kebebasan pers yang kebablasan.

 

Di sisi lain ada yang juga yang berpendapat bahwa kebablasan pers yang terjadi tercermin lewat membludaknya berita-berita yang tak mendidik, sehingga memberikan efek desktruktif terhadap kehidupan bermasyarakat.

 

Kebebasan pers adalah sesuatu hal yang didamba semua pihak. Namun, mau tak mau kebebasan tersebut tetap harus berjalan pada koridor yang bertanggungjawab. Meski tak bertanggungjawab kepada negara, pers memiliki tanggungjawab yang lebih besar kepada publik.

 

Industri pers

Saat ini, pers Indonesia sudah masuk sebagai sebuah industri yang penuh aroma kapitalisme, karena media besar, terutama televisi, hanya dikuasai oleh beberapa orang saja, sehingga sangat mudah sebagai alat penggiringan opini publik pada sejumlah kasus dan masalah yang melingkupi republik ini.

 

Di luar televisi, industri media cetak tampaknya sedang menghadapi masalah yang serius. Kemajuan teknologi informasi membuat media online tumbuh pesat dan seolah mampu menggantikan fungsi media cetak.

 

Menurut data yang dilansir Biro Audit Sirkulasi AS pada 2010, oplah koran di Amerika mengalami penurunan yang signifikan: USA Today mengalami penurunan oplah 13,58% menjadi 1,83 juta eksemplar per hari, The Los Angeles Times turun 14,74% (616.606 eksemplar per hari), Washington Post turun 13,06% (578.482 eksemplar per hari), dan The New York Times turun 8,47% (951.063 eksemplar per hari).

 

Semakin rendah oplah, maka keberlangsungan media cetak semakin terancam. Sebab, otomatis pemasukan dari penjualan akan berkurang drastis. Selain itu, pemasukan dari iklan pun ikut menurun. Pengiklan tentu akan berfikir ulang untuk memasang iklan di media cetak yang oplahnya rendah, jauh di bawah hits (jumlah kunjungan) media online

NYTimes.com mendapat 18 juta hits per hari, 10 kali lipat lebih banyak daripada jumlah koran yang terjual. Di Indonesia, tren tersebut juga terjadi, terbukti dari data sejumlah lembaga riset, iklan media online meningkat tajam hingga 400% sehingga membuat media online tumbuh subur.

 

Beberapa media cetak di Indonesia masih bertahan menjual versi cetaknya. Tentu diperlukan strategi dan inovasi untuk menjawab tantangan agar media cetak tidak hilang ditelan zaman.

 

Berdasarkan data Serikat Perusahaan Pers (SPS), Pada 2000, di Indonesia baru ada 290 judul media cetak dengan tiras sekitar 14,5 juta eksemplar. Namun, pada 2011 jumlah media cetak melonjak menjadi sekitar 1.000 judul dengan total tiras 25 juta eksemplar.

 

Media cetak memiliki kelebihannya tersendiri dibandingkan media lainnya. Dengan demikian, keunikan dan potensi tersebut hendaknya dioptimalkan dan ditonjolkan sedemikian rupa. Hanya ada satu pilihan terhadap perubahan: beradaptasi atau mati.(api)


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper