Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Gaduh IHSG Amblas, Benarkah Ekonomi Indonesia Baik-baik Saja?

Dunia usaha membutuhkan kebijakan yang mampu menstimulus pasar supaya roda ekonomi berjalan optimal.
Pegawai beraktivitas di galeri Bursa Efek Indonesia pada pembukaan perdagangan saham 2025 di Jakarta, Kamis (2/1/2025)./Bisnis/Himawan L Nugraha
Pegawai beraktivitas di galeri Bursa Efek Indonesia pada pembukaan perdagangan saham 2025 di Jakarta, Kamis (2/1/2025)./Bisnis/Himawan L Nugraha

Bisnis.com, JAKARTA - Pasar terus merespons negatif kebijakan pemerintah. Hal itu terbukti dengan runtuhnya sejumlah sektor perekonomian selama beberapa waktu terakhir. Yang terbaru, otoritas bursa sampai harus membekukan sementara perdagangan alias trading halt imbas kinerja indeks harga saham gabungan (IHSG) yang turun lebih dari 5% pada Selasa lalu.

Ekonomi Indonesia belakangan ini memang sedang dalam kondisi tidak stabil. Badai pemutusan hubungan kerja (PHK), indikasi penurunan daya beli, rupiah jeblok, tren deindustrialisasi, hingga ruang fiskal yang menyempit telah memicu ketidakpastian. Berbagai persoalan tersebut semakin rumit dengan kebijakan efisiensi anggaran yang sejauh ini belum berimbas secara positif ke perekonomian negara. 

Di sisi lain, pembentukan Badan Pengelola Investasi alias BPI Danantara, yang digadang-gadang akan mengerek perekonomian dan tetek bengeknya, juga masih memicu ketidakpastian. Investor di pasar saham wait and see. Saham-saham bank milik negara, justru kompak turun. Tidak jelas alasannya. Namun banyak analis menyinggung tentang peran Danantara.

Pasar sepertinya belum yakin betul Danantara mampu mengelola BUMN-BUMN jumbo yang selama ini menjadi backbone perekonomian. Apalagi komposisi di level elite Danantara, sebagian terafiliasi dengan kelompok politik dan korporasi tertentu.

Semua kerumitan itu semakin kompleks dengan proyeksi terbaru Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) yang sampai harus merevisi proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia. Hanya di angka 4,9%. Padahal sebelumnya, OECD memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2025 bisa mencapai angka 5,2%.

Pemangkasan proyeksi ini tentu menjadi 'peringatan' bagi pemerintah. Ada indikasi tentang ketidakpastian bahkan ketidakpercayaan terhadap langkah-langkah kebijakan yang ditempuh saat ini. Apalagi, di level global, tantangan begitu besar. Perang tarif yang berkecamuk antara Amerika Serikat di bawah Donald Trump dengan China, dua negara dengan produk domestik bruto (PDB) terbesar di dunia, bisa kembali memicu pasang surut ekonomi global.

Publik tentu masih ingat dengan dampak besar perang dagang jilid 1 pada tahun 2018-2019 lalu. Saat itu Trump menjadi presiden Amerika Serikat pada periode pertama. Ekonomi dunia nyaris morat-marit. Proyeksi pertumbuhan ekonomi global dipangkas oleh hampir semua lembaga. Akibatnya, terjadi banyak goncangan, meski Vietnam bisa menjadi pengecualian.

Vietnam, yang sistem politiknya masih totaliter, cukup menjanjikan pada waktu itu. Aliran modal mengalir cukup deras. Negeri Paman Ho itu menjadi tujuan relokasi besar-besaran industri dari China. Pada tahun 2018-2019 lalu, ekonomi Vietnam mengalami pertumbuhan ekonomi yang cukup mentereng. Kisarannya di angka 7,4%-7,5%.

Sementara itu, pada 2018-2019, Indonesia benar-benar harus berjibaku untuk mempertahankan supaya ekonomi tetap stabil. Belum lagi pemerintah harus memutar otak serta harap-harap cemas subsidi jebol karena harga minyak yang meroket. Perang tarif atau perang dagang benar-benar memukul ekonomi dan ancaman itu kemungkinan berulang saat ini. 

Investor jelas tidak ingin momen tahun 2018-2019 terulang. Mereka berharap besar dengan langkah pemerintah. Mereka menunggu kebijakan-kebijakan yang pro pasar. Kebijakan yang pro dunia usaha. Tidak perlu intervensi langsung. Tetapi kebijakan yang memiliki dampak alias multiplier effect yang besar bagi semua kalangan. Tidak lagi terkonsentrasi ke kelompok-kelompok tertentu, sehingga distribusi pendapatan semakin luas.

Kalau pendapatan terdistribusi dengan adil, pemerintah akan menikmatinya, karena bisa menarik pajak secara optimal. Pada akhirnya tax ratio akan naik, beban utang berkurang, APBN jauh lebih sehat, tak perlu repot-repot minta BI beli surat berharga negara, dan kalau itu terjadi, upaya pemerintah untuk mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan bisa terealisasi. 


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Edi Suwiknyo
Editor : Edi Suwiknyo
Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper