Bisnis.com, JAKARTA - Tercatat ada 29 musisi, termasuk Armand Maulana, Ariel Noah, hingga Bunga Citra Lestari (BCL) yang menggugat UU Hak Cipta ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Armand Maulana Cs melayangkan permohonan pengujian materi Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta ke Mahkamah Konstitusi (MK) yang teregister dalam akta pengajuan permohonan pemohon (APPP) dengan nomor 33/PUU/PAN.MK/AP3/03/2025 tertanggal Jumat (7/3/2025).
Diberitakan Bisnis sebelumnya, gugatan para musisi merupakan lanjutan dari deklarasi Vibrasi Suara Indonesia atau Visi. Adapun, Visi dibentuk sebagai respons terhadap gerakan yang diinisiasi oleh petolan grup band Dewa, Ahmad Dhani, dan para pencipta lagu melalui gerakan Aksi Bersatu.
Gerakan Aksi Bersatu menuntut adanya pembagian yang adil royalti atau performing rights atas lagu yang dinyanyikan oleh penyanyi pada even komesial.
Sementara itu, Gerakan Satu Visi justru menuntut supaya penerapan UU Hak Cipta bisa adil untuk semua insan musik Indonesia. Lantas, apakah proses uji materi dapat diterima Mahkamah Konstitusi dan berujung pada amandemen atau revisi UU Hak Cipta?
4 Materi Gugatan UU Hak Cipta
Dikutip dari akun Instagram pribadi Armand Maulana, Gerakan Satu Visi bertujuan untuk melanjutkan semangat manifesto mereka dengan penuh pertimbangan yang sekiranya baik untuk semua pihak.
Baca Juga
"Kami mendorong negara untuk hadir dan memberikan kepastian hukum yang berkeadilan," demikian dikutip dari akun Instagram Armand @armandmaulana04, Selasa (11/3/2025).
Armand lalu menuliskan bahwa pengajuan uji materi atas UU Hak Cipta ke MK menjadi salah satu kontribusi musisi yang tergabung dalam Gerakan Satu Visi untuk mewujudkan manifesto mereka. Dia menyebut 29 penyanyi yang terdaftar sebagai Pemohon uji materi No.33/PUU/PAN.MK/AP3/03/2025.
Melalui uji materi ke MK, gerakan tersebut secara garis besar ingin memastikan empat hal. Pertama, soal performing rights. "Apakah untuk performing rights, penyanyi harus izin langsung dari pencipta lagu?," demikian bunyi unggahan tersebut.
Kedua, soal siapa yang dimaksud dengan pengguna yang secara hukum memiliki kewajiban untuk membayar royalti performing rights.
Ketiga, bisakah orang/badan hukum memungut dan menentukan tarif royalti performing rights tersendiri di luar mekanisme Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) dan tarif yang ditentukan oleh Peraturan Menteri.
Keempat, masalah wanprestasi pembayaran royalti. "Masuk kategori pidana atau perdata," ujarnya.
Di sisi lain,
Isi UU Hak Cipta
Dilansir dari dokumen UU Hak Cipta, disebutkan jika Hak Cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pemegang Hak Cipta adalah Pencipta sebagai pemilik Hak Cipta, pihak yang menerima hak tersebut secara sah dari Pencipta, atau pihak lain yang menerima lebih lanjut hak dari pihak yang menerima hak tersebut secara sah.
Hak Terkait adalah hak yang berkaitan dengan Hak Cipta yang merupakan hak eksklusif bagi pelaku pertunjukan, produser fonogram, atau lembaga Penyiaran.
Berikut isi lengkap UU Hak Cipta bisa dilihat di sini https://peraturan.bpk.go.id/Download/28018/UU%20Nomor%2028%20Tahun%202014.pdf
Sementara itu, dikutip dari laman setkab.go.id, Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) telah menandatangani Peraturan Pemerintah Republik Indonesia (PP) Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik pada tanggal 30 Maret 2021.
Peraturan yang dapat diakses melalui laman JDIH Sekretariat Kabinet diterbitkan untuk memberikan pelindungan dan kepastian hukum terhadap pencipta, pemegang hak cipta, dan pemilik hak terkait terhadap hak ekonomi atas lagu dan/atau musik serta setiap orang yang melakukan penggunaan secara komersial lagu dan/atau musik.
Selain itu, juga untuk mengoptimalkan fungsi pengelolaan royalti hak cipta atas pemanfaatan ciptaan dan produk hak terkait di bidang lagu dan/atau musik.
“Setiap orang dapat melakukan penggunaan secara komersial lagu dan/atau musik dalam bentuk layanan publik yang bersifat komersial dengan membayar royalti kepada pencipta, pemegang hak cipta, dan/atau pemilik hak terkait melalui LMKN [Lembaga Manajemen Kolektif Nasional],” bunyi Pasal 3 ayat (1).
LMKN adalah lembaga yang memiliki kewenangan untuk menarik, menghimpun, dan mendistribusikan royalti serta mengelola kepentingan hak ekonomi pencipta dan pemilik hak terkait di bidang lagu dan/atau musik.
LMKN merupakan lembaga bantu pemerintah nonAPBN yang dibentuk oleh menteri berdasarkan undang-undang mengenai hak cipta. Disebutkan dalam Pasal 18, LMKN merepresentasikan kepentingan pencipta dan pemilik hak terkait, yang terdiri atas LMKN pencipta dan LMKN pemilik hak terkait.
Selanjutnya, disebutkan dalam peraturan ini, bentuk layanan publik yang bersifat komersial yang harus membayar royalti meliputi seminar dan konferensi komersial; restoran, kafe, pub, bar, bistro, kelab malam, dan diskotek; konser musik; pesawat udara, bus, kereta api, dan kapal laut; serta pameran dan bazar.
Kemudian bioskop; nada tunggu telepon; bank dan kantor; pertokoan; pusat rekreasi; lembaga penyiaran televisi; lembaga penyiaran radio; hotel, kamar hotel, dan fasilitas hotel; dan usaha karaoke. Penambahan bentuk layanan publik yang bersifat komersial diatur dengan peraturan menteri.
Kasus Agnez Mo
Sebelumnya, kasus pelanggaran UU Hak Cipta ini telah menjerat Agnes Monica atau Agnez Mo. Dia dinyatakan telah melanggar hak cipta karena menyanyikan lagu Bilang Saja tanpa izin kepada komposer.
Vonis itu diambil oleh hakim Pengadilan Niaga Jakarta Pusat pada (30/1/2025). Dalam putusannya, Agnez Mo wajib membayar denda Rp1,5 miliar terhadap pencipta lagu Ari Bias.
Berdasarkan informasi yang dihimpun, rencananya Agnes bakal mengajukan kasasi terhadap putusan tersebut.
Berikut beberapa Pasal dalam UU Hak Cipta yang terkait dengan kasus Agnez Mo vs Ari Bias:
Pasal 8
Hak ekonomi merupakan Pemegang Hak Cipta untuk atas Ciptaan.
Pasal 9
(1) Pencipta atau Pemegang Hak Cipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 memiliki hak ekonomi untuk meiakukan:
- penerbitan Ciptaan;
- Penggandaan Ciptaan dalam segala bentuknya;
- penerjemahan Ciptaan;
- pengadaplasian, pengaransemenan, pentransformasian Ciptaan;
- Pendistribusian Ciptaan atau salinannya;
- pertunjukanCiptaan;
- Pengumuman Ciptaan;
- Komunikasi Ciptaan; dan
- penyewaan Ciptaan.
(2) Setiap Orang yang melaksanakan hak ekonomi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mendapatkan izin Pencipta atau Pemegang Hak Cipta.
(3) Setiap Orang yang tanpa izin Pencipta atau Pemegang Hak Cipta dilarang melakukan Penggandaan dan/atau Penggunaan Secara Komersial Ciptaan.
Pasal 113
(1) Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf i untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 100.000.000 (seratus juta rupiah).
(2) Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f, dan/atau huruf h untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp5O0.OOO.000,O0 (lima ratus juta rupiah).
(3) Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (l) huruf a, huruf b, huruf e, dan/atau huruf g untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)