Bisnis.com, JAKARTA — Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) buka suara usai saksi sidang kasus kasus mantan Menteri Pertanian (Mentan) Syahrul Yasin Limpo atau SYL mengungkap ada oknumnya yang meminta uang guna mengondisikan opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) untuk Kementerian Pertanian (Kementan).
Menanggapi kesaksian tersebut, BPK menyampaikan pihaknya tetap berkomitmen untuk menegakkan nilai-nilai dasar independensi, integritas, dan profesionalisme dalam setiap pelaksanaan tugas BPK.
Lembaga auditor negara itu menjelaskan pelaksanaan tugas pemeriksaan BPK dilakukan berdasarkan standar dan pedoman pemeriksaan serta dilakukan reviu mutu berjenjang (quality control dan quality assurance). Apabila ada kasus pelanggaran integritas, maka hal tersebut dilakukan oleh oknum yang akan diproses pelanggarannya melalui sistem penegakan kode etik.
"BPK menghormati proses persidangan kasus hukum tersebut, dan mengedepankan asas praduga tak bersalah. BPK mendukung upaya pemberantasan korupsi di Indonesia dan tidak mentolerir tindakan yang melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan, Kode Etik, standar dan pedoman pemeriksaan," demikian keterangan Biro Humas dan Kerja Sama Internasional BPK melalui siaran pers di situs resmi, Jumat (10/5/2024).
Atas adanya informasi tersebut, BPK mengatakan telah membangun sistem penanganan atas pelaporan pelanggaran (whistleblowing system) dan program pengendalian gratifikasi. Tujuannya yakni guna memitigasi risiko terjadinya pelanggaran kode etik BPK, termasuk pemrosesan dan pemberian hukuman kepada oknum di BPK yang terbukti melanggar kode etik, melalui Majelis Kehormatan Kode Etik.
SIDANG SYL
Pada agenda sidang SYL, Rabu (7/5/2024), tim jaksa KPK salah satunya menghadirkan Sekretaris Direktorat Jenderal (Ditjen) Prasarana dan Sarana Pertanian (Sesditjen PSP) Kementan Hermanto sebagai saksi.
Baca Juga
Saat itu, Hermanto mengonfirmasi bahwa Kementan mendapatkan WTP dari BPK saat dia menjabat sebagai Sesditjen PSP. Dia lalu mengaku kenal dengan Haerul Saleh, yang merupakan Anggota IV BPK.
Usai ditanya pengalaman pribadinya maupun pengetahuan tentang Haerul Saleh dan Victor, Hermanto menceritakan bahwa ada temuan BPK soal pengelolaan anggaran Food Estate di Kementan.
Menurutnya, temuan soal Food Estate itu tidak banyak namun mencakup nilai anggaran yang besar pada tahun anggaran (TA) 2021. Kemudian, jaksa mendalami alasan Kementan tetap mendapatkan WTP kendati adanya temuan soal program strategis pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo itu.
Kemudian, jaksa pun menelisik dugaan apabila adanya suatu permintaan yang diajukan oleh oknum BPK agar bisa mengondisikan opini WTP untuk Kementan. Hermanto pun tak membantah bahwa ada permintaan senilai Rp12 miliar agar Kementan tetap mendapatkan WTP kendati adanya temuan-temuan soal Food Estate.
"Terkait hal tersebut bagaimana, apakah kemudian ada permintaan atau yang harus dilakukan Kementan agar menjadi WTP?," tanya jaksa.
"Ada. Waktu itu disampaikan untuk disampaikan kepada pimpinan untuk nilainya kalau enggak salah diminta Rp12 miliar untuk Kementan," kata Hermanto.
"Diminta Rp12 miliar oleh pemeriksa BPK itu?," tegas jaksa. "Iya, Rp12 miliar oleh Pak Victor tadi," demikian kesaksian Hermanto.
Selanjutnya, Hermanto mengaku bahwa pihak Kementan belum memenuhi permintaan oknum BPK itu. Dia mengaku mendengar dari mantan Direktur Alat dan Mesin Pertanian Muhammad Hatta, yang juga menjadi terdakwa dalam persidangan tersebut, bahwa Kementan baru membayar Rp5 miliar dari total Rp12 miliar yang dimintakan. Uang untuk oknum BPK itu diakui berasal dari vendor Kementan.
"Ditagih enggak kekurangannya kan ditagih Rp12 miliar?," tanya jaksa. "Ditagih terus," jawa Hermanto.