Bisnis.com, JAKARTA — Isu tentang dwifungsi ABRI kembali mengemuka ke publik di tengah upaya pemerintah merampungkan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Manajemen Aparatur Sipil Negara (ASN).
Sama seperti aturan induknya yakni Undang-undang No.20/2023 tentang ASN, RPP Manajemen ASN ini menghadirkan polemik lantaran dalam sederet klausulnya memberikan ruang kepada anggota TNI dan Polri menjabat di institusi sipil.
UU ASN yang diteken Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada 2023 itu, khususnya Pasal 19 ayat 2 huruf a dan b, misalnya secara eksplisit menekankan bahwa prajurit TNI dan Polri bisa mengisi jabatan ASN tertentu. Sebaliknya, Pasal 20 UU ASN juga memberikan kesempatan bagi pegawai ASN untuk menduduki jabatan di lingkungan TNI Polri.
Sementara itu, ketentuan maupun tata cara pengisian jabatan ASN tertentu oleh TNI/Polri dan sebaliknya pengisian jabatan sipil di lingkungan militer maupun kepolisian, diatur dalam RPP Manajemen ASN yang tengah digodok.
Menurut Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan RB) Abdullah Azwar Anas, RPP itu akan mengatur kebijakan terperinci mengenai pengisian posisi TNI-Polri dan ASN yang bersifat timbal balik dan juga resiprokal.
Dia menekankan bahwa setiap pejabat militer yang akan menduduki jabatan sipil akan menjalani proses seleksi yang sangat ketat. Mekanisme pengisian jabatannya juga disesuaikan dengan kebutuhan instansi yang bersangkutan dengan mekanisme manajemen talenta.
Baca Juga
"Kita akan mendapatkan talenta terbaik dari TNI/Polri dan mereka pun dapatkan ASN terbaik," ujarnya belum lama ini.
Adapun Azwar Anas mengungkapkan, RPP tersebut mengatur aspek-aspek substansi yang disesuaikan dengan petunjuk Presiden Jokowi. Apabila aspek telah terpenuhi, makai RPP akan disahkan pada akhir April 2024.
"RPP ini harus bisa transformatif dan tentunya implementatif di lapangan sebagaimana arahan Bapak Presiden. Setelah 100% aspek terpenuhi, targetnya 30 April 2024 sudah ditetapkan,” ujar Anas.
AMANAH REFORMASI
Jelas saja, rencana pemerintah merampungkan RPP Manajemen ASN itu tetap menuai kritik dari publik lantaran kental dengan ‘nuansa’ dwifungsi ABRI Orde Baru. Pasalnya, pembatasan jabatan militer ke sipil merupakan buah dari Reformasi pada 1998.
Dwifungsi ABRI sebagai salah satu doktrin militer yang telah hidup sejak era Bung Karno dan menjadi kekuatan mapan pada era rezim Suharto. Pelopor Dwifungsi ABRI atau militer adalah Jenderal AH Nasution.
Pada Orde Baru, dwifungsi ABRI tak terbendung dengan peran militer tidak terbatas ekonomi dan kaki tangan kekuasaan. Tokoh-tokoh militer memiliki jabatan strategis, termasuk jabatan menteri hingga kepala daerah.
Namun, dwifungsi ABRI runtuh setelah munculnya gerakan demokratisasi pada 1998. Suharto tumbang. Pada tahun 2004 lahir UU TNI yang memisahkan peran TNI dalam kehidupan sipil.
Oleh karena itu, setelah hampir 20 tahun berlalu, munculnya klausul baru dalam UU ASN dan selanjutnya dalam RPP Manajemen ASN dinilai sebagai upaya untuk membangkitkan kembali dwifungsi ABRI.
Setara Institute menjadi salah satu pihak yang mengkritisi ketentuan RPP tentang Manajemen ASN lantaran memungkinkan anggota TNI-Polri mengisi jabatan sipil.
Peneliti HAM dan Sektor Keamanan Setara Institute, Ikhsan Yosarie hakul yakin bahwa aturan tersebut menghidupkan kembali dwifungsi ABRI ala Orde Baru dan mengkhianati amanat Reformasi 1998.
“Konsekuensi yang ditimbulkan atas penempatan TNI-Polri pada jabatan sipil tersebut adalah menghidupkan kembali Dwifungsi ABRI dengan dalih kompetensi, yang justru dilakukan oleh pejabat sipil yaitu Joko Widodo,” katanya dalam keterangan tertulis, pekan lalu.
Menurutnya, penyusunan regulasi tersebut justru menyimpang dari upaya reformasi organisasi TNI dan Polri sebagai alat pertahanan dan keamanan negara. Dia menilai bahwa pemerintahan Presiden Jokowi tidak punya komitmen politik untuk menguatkan hal tersebut.
Setara Institute juga menyoroti muatan RPP ASN yang disebut akan mengakselerasi perluasan posisi TNI-Polri pada jabatan sipil, terutama jabatan-jabatan tertentu yang selama ini menjadi ranah ASN.
“Terlebih mengikuti kecenderungan yang selama ini terjadi pada periode Presiden Joko Widodo, yang tidak memiliki paradigma supremasi sipil dalam demokrasi dan abai terhadap reformasi TNI-Polri,” lanjutnya.
Menurutnya, RPP ASN perlu menegaskan bahwa prajurit TNI dan Polri hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun, sebagaimana Pasal 47 ayat (1) UU TNI dan Pasal 28 ayat (3) UU Polri.
Dia berpendapat, rancangan aturan tersebut mestinya memberikan gambaran jelas mengenai jabatan apa saja yang dapat ditempati anggota TNI-Polri, mengingat jabatan ASN terdiri dari jabatan manajerial dan non-manajerial.
Selain itu, Ikhsan juga mengungkapkan bahwa aturan itu dapat berdampak kepada jenjang karir dari ASN maupun anggota TNI-Polri itu sendiri. Hal ini tak terlepas dari konsep resiprokal dalam UU ASN, yang mana ASN juga dapat mengisi jabatan-jabatan tertentu di lingkungan TNI/Polri.
“Penempatan sesuai kebutuhan kementerian/lembaga harus menjadi prinsip yang diutamakan, sehingga penempatan dapat tepat sasaran. RPP Manajemen ASN harus dipastikan menjadi instrumen untuk mewujudkan birokrasi berdampak seperti jargon Kemenpan/RB, bukan untuk menjadi sarana perluasan penempatan TNI/Polri pada jabatan-jabatan ASN,” tandasnya.
KLAIM PEMERINTAH & DPR
Sementara itu, DPR dan Pemerintah tampak lebih kompromistis ihwal klausul dalam UU ASN dan RPP Manajemen ASN yang dianggap sebagai pemulihan 'dwifungsi ABRI' itu.
Ketua Komisi II DPR Ahmad Doli Kurnia Tandjung menegaskan ketentuan dalam RPP Manajemen ASN, khususnya terkait TNI/Polri boleh mengisi jabatan ASN, bukanlah dwifungsi ABRI.
Doli menyampaikan bahwa kebijakan ini menjadi kebutuhan yang tidak bisa dihindari masing-masing instansi. Hal ini pun Doli sebut telah ada dalam UU No.5/2014 tentang ASN.
“Jauh [dari indikasi dwifungsi ABRI] karena kita sudah mempraktikkannya di UU yang sebelumnya, UU No.5/2014, dan ternyata nggak seperti itu,” ujarnya di Kompleks Parlemen, Rabu (13/3/2024).
Doli memberikan contoh, misalnya di Kementerian Pertahanan, prajurit TNI sangat mungkin masuk di lingkungan ASN Kemenhan.
Sebaliknya, di lingkungan TNI/Polri juga membutuhkan tenaga administrasi yang tidak harus diisi oleh TNI/Polri, namun dapat diisi oleh sipil.
“Tapi diatur khusus TNI/Polri, yaitu hanya boleh di instansi pusat, hanya boleh di unit eselon 1, nggak boleh di bawah itu,” lanjutnya.
Politisi dari Partai Golkar tersebut menekankan bahwa kebijakan ini diatur sesuai dengan level playing field, tidak boleh bersaing di semua posisi. Maka dari itu, TNI/Polri diatur secara khusus.
Dengan demikian, tidak menutup kemungkinan kebutuhan TNI/Polri di lingkungan ASN, tetapi juga menjaga karir ASN agar tetap berkembang semaksimal mungkin.
Secara terpisah, Wakil Presiden Maruf Amin menilai bahwa ada beberapa jabatan sipil yang perlu untuk diisi oleh personel dari TNI-Polri. Namun, dia menyampaikan bahwa tentu ada batasan-batasan tertentu mengenai jabatan mana yang bisa dan tidak bisa diisi oleh non-sipil.
"Sehingga kemungkinan [posisi ASN] itu bisa diisi tetapi tentu dengan batasan-batasan, yang pasti itu sudah disiapkan tidak lagi jadi kemungkinan munculnya dwifungsi TNI atau dwifungsi ABRI seperti dulu itu," ujarnya di sela acara pembukaan Kepulauan Riau Ramadhan Fair (Kurma) 2024 di Tanjungpinang, Kepri, Jumat (15/3/2024).
Di sisi lain, lantaran alasan kebutuhan, Maruf turut menyampaikan bahwa kalangan sipil atau ASN bisa juga menduduki sejumlah jabatan di TNI-Polri yang memungkinkan untuk diisi oleh non TNI-Polri. Biasanya, terang Maruf, jabatan itu bukan yang bersifat teknis.
Mantan Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) itu memastikan bahwa rancangan aturan baru pemerintah tentang ASN itu tidak akan melahirkan kembali dwifungsi ABRI seperti sebelum reformasi.
"Makanya itu mudah-mudahan terus disempurnakan saling mengisi tetapi tidak mengembalikan dwifungsi ABRI," ucapnya.