Bisnis.com, JAKARTA -- Pasangan capres dan cawapres nomor urut 2, Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka, untuk sementara memimpin perolehan suara pada Pemilu 2024.
Namun demikian, potensi sengketa perolehan suara masih terbuka, karena kubu Ganjar Mahfud dan Anies-Muhaimin mensinyalir terjadi banyak kecurangan.
Adapun sengketa atau perselisihan hasil pemilihan umum (pemilu) lazim terjadi setiap lima tahun sekali. Apabila hal itu terjadi, maka Mahkamah Konstitusi (MK) merupakan lembaga yang berwenang untuk memutus perselisihan tersebut.
Untuk diketahui, hasil pemungutan suara Pemilu 2024 yang digelar kemarin, Rabu (14/2/2024), tengah diproses melalui mekanisme rekapitulasi berjangka oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Berdasarkan data KPU pada situs resmi pemilu2024.kpu.go.id, hasil hitung suara yang sudah masuk melalui Sirekap yakni mencapai 337.602 Tempat Pemungutan Suara (TPS) dari ttoal 823.236 TPS. Itu setara dengan 41,01% per pukul 09.00 WIB 15 Februari 2024.
Hasil penghitungan suara manual yang dilakukan oleh KPU bakal menjadi hasil pemilu yang berpotensi dipersengketakan. Hal itu diatur dalam Peraturan MK No.04/PMK/2004 tentang Pedoman Beracara dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum.
Baca Juga
Pada pasal 4, MK mengatur bahwa yang menjadi materi permohonan adalah penetapan hasil Pemilu yang dilakukan oleh KPU secara nasional yang memengaruhi:
a. terpilihnya calon anggota DPD;
b. penentuan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang masuk pada putaran kedua serta terpilihnya pasangan calon Presiden Wakil Presiden; dan
c. perolehan kursi partai politik peserta Pemilu di suatu daerah pemilihan.
"Yang dapat menjadi pemohon adalah: a. Perorangan warga negara Indonesia (WNI) calon anggota DPD peserta Pemilu; b. pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden peserta Pemilu; c. Partai Politik peserta Pemilu," demikian bunyi pasal 3.
Adapun pasal 5 mengatur tata cara mengajukan permohonan ke MK mengenai perselisihan hasil Pemilu. MK mengatur bahwa permohonan hanya dapat diajukan dalam jangka waktu paling lambat 3x24 jam sejak KPU mengumumkan hasil Pemilu secara nasional.
Selain syarat-syarat mengenai data identitas pemohon, permohonan yang diajukan ke MK harus memuat uraian tentang:
1. kesalahan hasil penghitungan suara yang diumumkan oleh KPU dan hasil penghitungan yang benar menurut pemohon;
2. permintaan untuk membatalkan hasil penghitungan suara yang diumumkan oleh KPU dan menetapkan hasil penghitungan suara yang benar menurut pemohon.
Sementara itu, mengenai registrasi perkara dan penjadwalan sidang, MK mengatur bahwa permohonan yang masuk diperiksa persyaratan dan kelengkapannya oleh Panitera MK. Apabila sudah legkap, MK menetapkan hari sidang pertama dalam jangka waktu paling lambat tiga hari kerja untuk perselisihan hasil Pemilihan Presiden (Pilpres) dan tujuh haru untuk hasul Pemilihan Calon Anggota Legislatif (Pileg).
Pemeriksaan nantinya akan dilakukan dalam dua bagian sebagaimana diatur dalam pasal 7 dan 8. Pasal 7 mengatur soal pemeriksaan pendahuluan oleh Panel Hakim sekurang-kurangnya tiga orang hakim konstitusi dalam sidang terbuka untuk umum.
Kemudian, pasal 8 mengatur pemeriksaan persidangan oleh Panel Hakim dan/atau Pleno Hakim dalam sidang terbuka untuk umum. Adapun tahap pemeriksaan persidangan meliputi kewenangan MK, kedudukan hukum pemohon, pokok permohonan, keterangan KPU dan alat bukti.
Setelah melakukan proses pemeriksaan itu, hakim konstitusi menggelar rapat permusyawaratan hakim (RPH) guna mengambil putusan sebagaiman diatur dalam pasal 9. RPH dilakukan secara tertutup oleh Sidang Pleno sekurang-kuranganya tujuh orang hakim konstitusi, dan secara musyawarah untuk mufakat.
Namun, pasal 9 ayat (5) mengatur pengambila putusan bisa dilakukan berdasarkan suara terbanyak apabila tidak tercapai mufakat. Lalu, apabila tidak dapat diambil dengan suara terbanyak, ayat (6) menyebut suara terakhir ketua sidang pleno hakim konstitusi menentukan.
"Putusan Mahkamah Konstitusi tentang perselisihan hasil Pemilu bersifat final," demikian bunyi pasal 10 ayat (7).