Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Author

Abdul Mongid

Guru Besar STIE Perbanas Surabaya

Abdul Mongid adalah Guru Besar STIE Perbanas Surabaya. Alumni Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Airlangga ini meraih gelar doktor bidang perbankan dai Universitas Sultan Zainal Abidin Malaysia

Lihat artikel saya lainnya

OPINI : Mewaspadai Krisis Ekonomi dari China

Para pengusaha menyatakan bahwa perkembangan negatif ekonomi China bisa memberi dampak buruk terhadap perekonomian Indonesia.
Presiden Joko Widodo (kiri) memberikan salam kepada Presiden China Xi Jinping saat tiba untuk melaksanakan pertemuan bilateral di Villa 14, Diaoyutai State Guesthouse, Beijing, China, Selasa (26/7/2022). Biro Pers Setpres/Laily Rachev
Presiden Joko Widodo (kiri) memberikan salam kepada Presiden China Xi Jinping saat tiba untuk melaksanakan pertemuan bilateral di Villa 14, Diaoyutai State Guesthouse, Beijing, China, Selasa (26/7/2022). Biro Pers Setpres/Laily Rachev

Bisnis.com, JAKARTA - Pada Edisi 10 Januari 2024, Harian Bisnis Indonesia memberitakan rasa khawatir para pengusaha Indonesia setelah ada berita ekonomi China diprediksi melemah pada 2024 ini.

Para pengusaha menyatakan bahwa perkembangan negatif ekonomi China bisa memberi dampak buruk terhadap perekonomian Indonesia. Alasannya adalah keterkaitan hubungan ekonomi Indonesia dan China sangat erat sehingga bisa memengaruhi ekonomi makro, khususnya kinerja ekspor, impor, dan investasi.

Seperti diketahui, dunia internasional menyoroti terjadinya deflasi yang parah di China. Umumnya mereka menyatakan bahwa apa yang terjadi China adalah anomali alias tidak ‘lumrah’. Saat seluruh dunia sedang dilanda inflasi yang sangat parah, ternyata China malahan dilanda deflasi.

Seperti diketahui, pascaterjadinya perang Rusia-Ukraina, dunia dikejutkan betapa rentannya ekonomi global saat terjadi krisis karena geopolitik. Dunia tidak menyangka bahwa komoditas gas dan gandum bisa mendadak langka. Akibatnya, harga energi dan pangan melonjak sangat tinggi dan di beberapa negara miskin menjadi ‘tak terbeli’. Inflasi global akhirnya meroket tajam.

Ironisnya, China saat ini sedang menghadapi deflasi yang sangat parah. Mengutip data dari Bank Sentral China, indeks harga barang keseluruhan (overall) pada Januari 2023 angkanya 100,4, tetapi pada November 2023 turun menjadi 97,9. Untuk produk pertanian, indeks turun dari 107,4 menjadi 93,8 yang berarti terjadi penurunan harga produk pertanian mencapai 14 poin. China yang dikenal sebagai pengguna energi terbesar di dunia, mengalami penurunan indeks harga energi yang cukup besar yaitu sebesar 9%. Ini berarti deflasi parah.

Boleh dikatakan China mengalami tahun yang buruk pada 2023 dan prospek ekonominya pada 2024 juga tidak lebih baik. Ekspor 2023 secara keseluruhan turun untuk pertama kalinya sejak 2016 karena permintaan global untuk barang-barang buatan China menurun, kecuali ekspor mobil. Tahun 2023, surplus perdagangan China mencapai US$823 miliar atau terjadi penurunan dibandingkan 2022 karena penurunan harga sampai 20%.

Kondisi deflasi lebih sulit untuk diatasi karena fundamentalnya adalah turunnya permintaan agregat baik yang berasal dari domestik maupun pasar ekspor. Kebijakan peningkatan daya beli masyarakat sulit untuk dilakukan secara terus-menerus, sustainable dan jangka panjang karena akan memengaruhi keseimbangan ekonomi, khususnya terkait dengan keseimbangan keuangan negara.

Sinyal memburuknya ekonomi China juga dapat dilihat dari data pasar modal. Jika pada April 2023 indeks harga saham gabungan (IHSG) Bursa Shanghai angkanya 3.385, pada awal Januari tinggal 2.886. Kalau dihitung secara tahunan, sudah terjadi penurunan nilai hampir 11%. Dalam perdagangan awal 2024 saja, indeks sudah merosot 1,61%. Jika dihitung sejak 2021, nilai kapitalisasi pasar modal China sudah turun 40%.

Kondisi lebih buruk di­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­alami sektor properti. Banyak developer yang gulung tikar karena penjualan properti merosot cukup drastis. Pengembang besar seperti Evergrande, Country Garden, dan Zhongzhi Enterprice Group menjadi korban krisis sektor properti dan mengalami kebangkrutan. Ini memicu krisis pada perekonomian China. Tanda-tanda krisis sektor properti pada 2023 adalah ketika penjualan lahan merosot, yaitu hanya 120 juta meter persegi. Sebagai pembanding, total penjualan lahan pada 2012 mencapai 440 juta meter persegi.

Mencermati kondisi yang terjadi di China wajar jika para pengusaha khawatir. Seperti diketahui, deflasi menyebabkan perusahaan-perusahaan, khususnya perusahaan besar dengan stok barang yang banyak akan mengalami kerugian. Karena itu, mereka melakukan PHK besar-besaran. Ini menurunkan permintaan agregat berikutnya sehingga proses spiral terjadi dan hanya akan berhenti saat keadaan sudah parah.

Sebagai mitra dagang utama Indonesia, perkembangan ekonomi China terbaru harus diwaspadai dengan serius karena potensi dampak ikutannya sangat serius. Apalagi, berdasarkan analisis independen, keterkaitan pertumbuhan ekonomi China dengan Indonesia antara 0,3%—0,39%. Artinya, jika ekonomi China pertumbuhanya turun 1%, maka pertumbuhan ekonomi kita akan turun 0,3%.

Dampak penurunan ekonomi China ke Indonesia mulai tampak. Laporan BPS menyatakan, dalam sebulan, pangsa ekspor ke China turun 6% dari 36,55% pada Oktober 2023 menjadi 26,11% pada November 2023. Untuk impor, China juga partner dagang penting. Selain sebagai tujuan ekspor utama, China juga merupakan negara suplai barang impor penting Indonesia, khususnya untuk bahan baku dan bahan penolong untuk industri. Artinya, ketergantungan kita terhadap barang impor dari China juga berpotensi menimbulkan pro­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­­blem pada industri manufaktur di Indonesia kalau sampai terjadi ‘shut down’ di China.

Selain partner dagang penting, China adalah sumber penting investasi, khususnya untuk sektor pertambangan dan industri yang terkait dengan program penghiliran produk tambang. Berdasar Kata Data, total investasi China di Indonesia pada 2020 mencapai US$4,84 miliar, mencapai US$3,16 miliar pada 2021, dan pada 2022 meningkat drastis menjadi US$5,19 miliar.

Dengan memperhatikan kondisi yang terjadi di China, Indonesia perlu mewaspadai dan mengantisipasi terhadap potensi buruk yang mungkin akan terjadi sebagai dampak dari terjadinya krisis ekonomi di China. Tidak perlu panik dengan perkembangan ini, tetapi tetap mewaspadai potensi buruk yang terjadi. Ingat, China selalu bisa membalik ramalan melalui kebijakan yang brilian.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Abdul Mongid
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper