Bisnis.com, JAKARTA — Auriga Nusantara mencatat 133 ancaman terhadap pembela lingkungan (strategic lawsuit against public participation/SLAPP) di Indonesia sepanjang 2014–2023. Bahkan, jumlah ancaman per tahunnya terus meningkat sejak 2018.
Direktur Penegakan Hukum Auriga Nusantara, Roni Saputra, menganggap tingginya angka ancaman itu karena adanya kekosongan hukum yang melindungi para pembela lingkungan. Bahkan, menurutnya, tak sedikit peraturan perundangan yang justru membuka ruang ancaman terhadap pembela lingkungan.
"Seperti UU ITE yang memenjarakan kritik dengan dalih nama baik, UU Minerba yang memasukkan protes pertambangan sebagai tindakan kriminal, bahkan Kitab Undang-Undang Pidana [KUHP] yang dapat dipelintir," jelas Roni dalam keterangannya, Jumat (19/1/2024).
Meski demikian, dia mengakui juga ada upaya perlindungan pembela lingkungan oleh negara seperti Pedoman Jaksa No. 8/2022 dan PERMA No. 1/2023. Namun, Roni merasa aturan itu hanya muncul secara sporadis dan hanya aturan teknis sehingga sangat mungkin diabaikan bila dibenturkan dengan aturan di atasnya.
Apalagi dari 133 ancaman kepada pembela lingkungan itu, 82 di antara merupakan kasus kriminalisasi. Roni meyakini, kriminalisasi ini menjadi momok besar karena sedemikian lebarnya kewenangan penyidik kepolisian.
"Oleh karena itu, baik Pedoman Jaksa maupun Peraturan Mahkamah Agung di atas tidak cukup untuk mencegah pembela lingkungan menjadi korban kriminalisasi," katanya.
Baca Juga
Oleh sebab itu, Roni menekankan saatnya negara hadir secara serius dalam melindungi pembela lingkungan. Dia ingin pemerintah menerbitkan peraturan yang memberikan jaminan perlindungan terhadap pembela lingkungan.
"Goodwill [kehendak baik] dan political will [kehendak politik] pemerintah juga harus tampak jelas karena apa yang dilakukan pembela lingkungan, yakni menjaga dan melestarikan kekayaan alam Indonesia adalah pemenuhan sebesar-besarnya kemakmuran sebagaimana diamanatkan konstitusi," tutupnya.