Bisnis.com, JAKARTA - Presiden ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) meyakini kebebasan berbicara dengan stabilitas negara tidak boleh dipertentangan satu sama lain.
SBY merasa, selama ini berkembang mitos seolah negara tak bisa stabil apabila rakyat bebas menyampaikan pendapat.
Dia pun mempertanyakan kebenaran mitos itu saat sampaikan pidato dalam acara Merajut Persatuan di Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat pada Kamis (24/8/2023) malam.
"Apa betul kita harus memilih, kalau mau ekonominya tumbuh ya demokrasi dinomorduakan? Lupakan demokrasi lah. Kalau [mau] negaranya stabil, aman, ya enggak usah bicara kebebasan? Kita tidak harus memilih. Tidak," ujar SBY.
Dia berpendapat, mitos itu muncul pada masa Orde Baru ketika Presiden Soeharto yang mengutamakan pembangunan sering menomorduakan demokrasi. Mereka pun seolah menarasikan demokrasi dan kemajuan ekonomi tak bisa berjalan beriringan.
"Pendapat dan pemikiran saya adalah mitos yang diangkat itu terikat, terkait dengan konteks waktu, konteks ruang, konteks keadaan, menurut saya. Oleh karena itu, mungkin dulu begitu, dekade demi dekade tentu terjadi transformasi," jelas SBY.
Baca Juga
Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat ini menjelaskan, Reformasi 1998 telah membawa Indonesia menjadi negara demokrasi ketiga terbesar di dunia. Seiring waktu berjalan, lanjutnya, pertumbuhan ekonomi Indonesia juga stabil.
SBY mencontohkan, Indonesia berhasil masuk ke dalam G20 atau negara dengan 20 negara dengan perekonomian terbesar di dunia ketika dirinya menjadi presiden atau pada 2008. Di samping itu, klaimnya, kebebasan berpendapat juga tetap dipastikan.
"Jadi jangan sampai ada dalih politik apapun seolah-olah kita harus memilih kalau ekonomi maju harus menerima demokrasinya terseok. Ataupun juga negaranya aman, lupakan kebebasan. Should not be that way, tidak harus begitu karena kita pernah membuktikan semuanya bisa dihadirkan," katanya.