Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Lupakan Barat, Lihatlah China!

China menjadi raksasa ekonomi global tanpa harus percaya dengan lembaga-lembaga global.
Presiden China Xi Jinping dan Presiden RI Joko Widodo menyaksikan uji coba Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) secara virtual dari Bali, Rabu (16/11/2022) - Dok. tangkapan layar youtube Setpres RI.
Presiden China Xi Jinping dan Presiden RI Joko Widodo menyaksikan uji coba Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) secara virtual dari Bali, Rabu (16/11/2022) - Dok. tangkapan layar youtube Setpres RI.

Bisnis.com, JAKARTA -- China telah menggeser Barat sebagai magnet dunia. Mereka memiliki kekuatan ekonomi yang memukau dan kemampuan militer yang tangguh. Sejumlah lembaga internasional menempatkan militer China di peringkat ketiga, di bawah Rusia dan Amerika Serikat.

Namun demikian, penentuan peringkat ini belum menghitung konflik di Ukraina yang telah menguras tenaga dan sumber daya militer Rusia. Jika itu dihitung, kemungkinan besar China saat ini telah menggeser Rusia sebagai negara terkuat nomor dua di dunia.

Kombinasi antara kemampuan ekonomi dan militer telah menjadikan China sebagai kekuatan yang mematikan. China menguasai rantai pasok perdagangan global. Produk domestik bruto atau PDB China US$ 17,96 triliun atau melejit berkali-kali lipat selama dua dasawarsa terakhir. Padahal Bank Dunia mencatat tahun 2003 PDB China hanya berada di angka US$1,6 triliun.

Tren kenaikan PDB itu sejalan dengan meningkatnya belanja militer China. Tahun 2022 lalu misalnya, Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI) mencatat military expenditure China mencapai US$292 miliar. Kendati masih di bawah belanja militer AS yang tercatat senilai US$877 miliar, tetapi jauh di atas Rusia yang hanya US$86,4 miliar. Apalagi belanja militer Indonesia yang tidak sampai seujung kukunya.

Selain anggaran militer jumbo, industri militer China berkembang cukup pesat. China adalah salah satu eksportir perangkat militer terbesar di dunia. China mampu membuat rudal balistik, senjata nuklir, peluncur roket, pesawat siluman J-20, hingga kapal kelas perusak.

Di bidang ekonomi, korporasi China juga memiliki pengaruh besar baik dari sisi regional maupun global. Ekonomi digital China bergerak cukup agresif. Ada Huawei, TikTok, hingga Ali Baba yang mampu menembus dan menguasai pasar global. Perpaduan kekuatan ekonomi digital dan militer tentu membuat Barat ketar-ketir.

Apalagi, ekonomi digital tidak hanya menyajikan tampilan dan kemudahan akses yang banyak memukau khalayak, tetapi juga memiliki potensi yang melebihi bahan tambang manapun yakni data pribadi. Siapa saja yang menguasai ekosistem digital mereka akan menguasai dunia.

Atas dasar ini pula, Barat dibuat cemas. Agresifitas perusahaan digital 'Made In China' itu mengancam hegemoni mereka yang telah berumur ratusan tahun. Barat tak ingin China mengusik kepentingan mereka di Timur, Pasifik, Amerika Selatan, atau bahkan negara-negara Afrika.

Perang propaganda 'bahaya China' semakin terbuka. Aliansi Pertahanan Atlantik Utara atau NATO sampai-sampai melihat China sebagai ancaman. Tentunya ancaman terhadap dominasi mereka di Timur selama ini. China saat ini memang cukup agresif menebar pengaruhnya di negara-negara kawasan Asia Pasifik.

Pengaruh itu dilakukan dengan klaim tradisional mereka atas wilayah Laut China Selatan (LCS), yang sebagian juga masuk dalam zona ekonomi eksklusif (ZEE) Indonesia, dan kehadiran pangkalan militer mereka di kepulauan Solomon hingga Afrika. Klaim LCS memicu ketegangan dengan negara-negara Asean, termasuk Indonesia, yang dengan mudah dimanfaatkan AS dan sekutunya untuk ikut-ikutan nimbrung dalam sengketa tersebut.

Klaim China meskipun tidak bisa diterima dan harus ditolak dalam hukum internasional, tetapi agak sedikit masuk dalam logika. China dan Asia Tenggara memiliki hubungan sejarah panjang selama ribuan tahun. Klaim mereka ada dasar historisnya. Sedangkan Barat, mereka datang ke dunia timur dengan penjajahan. Tidak pernah berhubungan secara langsung, tetapi senaknya mengklaim ini tanah saya, ini jajahan saya. Gold, Glory, Gospel!

Wajar dengan kemajuan militer dan ekonomi China, dalam hal tertentu bersama Rusia, mulai menantang dominasi Barat. Pemimpin China Xi Jinping dan Presiden Rusia Vladimir Putin bahkan telah menyepakati untuk mendorong perubahan secara bersama-sama. Barat tampaknya sudah semakin menua, masa depan kini berada di timur.

"Saat ini ada perubahan yang belum pernah kita lihat selama 100 tahun dan kitalah yang mendorong perubahan ini bersama-sama," ucap XI usai bertemu Putin di Moskow beberapa waktu lalu.

Lalu Bagaimana Posisi Indonesia?

Indonesia memiliki pengalaman traumatis dengan Barat. Pernah dijajah selama ratusan tahun. Pada saat berusia seumur jagung, Indonesia dirongrong dengan suplai senjata kepada para elite politik yang tidak suka dengan kebijakan pusat. Sementara setelah pengakuan kedaulatan pada 1949, Indonesia dibebani utang dan kewajiban-kewajiban lainnya yang hampir membuat sulit bernafas.

Meski demikian, Indonesia pernah secara langsung berhadapan dengan kekuatan Barat. Sentimen antibarat begitu kuat ketika Sukarno berkuasa. Pertunjukkan antibarat Sukarno tampak dari penumpasan PRRI dan Permesta di Sumatra dan Sulawesi, perebutan Irian Barat, hingga puncaknya adalah konfrontasi dengan Inggris di Malaysia.

Sayangnya Sukarno atau Bung Karno tumbang. Dia diganti oleh Jenderal Soeharto yang dinilai pro barat. Modal asing mengucur pada waktu itu. Arsitek-arsitek ekonomi pada Orde Baru mayoritas adalah didikan Barat. Yang paling terkenal pada waktu itu adalah 'Mafia Berkeley'.

Perlahan tapi pasti, ekonomi Indonesia masuk ke masa yang lebih liberal. Hanya saja, Indonesia gagal mengambil momentum dengan pembangunan industri. Pemerintah justru lengah karena booming komoditas. Akibatnya ketika terjadi krisis finansial di Asia pada 1997-1998, Indonesia menjadi korban paling parah. Rupiah anjlok, inflasi melonjak, pertumbuhuan ekonomi mencapai titik nadir.

Pada titik inilah Barat kembali masuk secara langsung. Mereka cawe-cawe terhadap kehidupan domestik Indonesia. IMF memberikan utang dengan syarat yang begitu panjang. Kebijakan publik Indonesia diintervensi, sampai-sampai ingin bikin suatu aturan harus memakai acuan World Bank, IMF, OECD dan tetek bengeknya.

Kasus menarik adalah skandal ranking Ease of Doing Business (EoDB) yang diterbitkan oleh Bank Dunia. Indonesia termasuk negara yang sangat percaya bahwa ranking EoDB akan memberikan implikasi positif pada kegiatan investasi dan ekonomi. Pemerintah bahkan rela melakukan deregulasi besar-besaran. Sampai kemudian borok itu terungkap. EoDB ternyata penuh skandal. Ada conflict of interest.

Selain soal EoDB, Indonesia juga hampir dikadalin Barat soal nikel. Bedanya kali ini pemerintah berani melawan. Pemicu konflik nikel antara Barat dengan Indonesia bermula dari kebijakan pemerintah yang menyetop ekspor bijih nikel dan mendorong hilirisasi. Gara-gara kebijakan hilirisasi Eropa kebakaran jenggot. Mereka menggugat ke World Trade Organization alias WTO. Hasilnya seperti yang sudah ditebak, mereka menang. WTO adalah organisasi yang sering menjadi ’alat’ bagi negara maju untuk melanggengkan hegemoninya.

Usai Uni Eropa, Dana Moneter Internasional alias IMF yang pernah menjerat Indonesia dengan utang triliunan, juga cawe-cawe terhadap kebijakan hilirisasi Indonesia.

IMF lagi-lagi mengajari Indonesia untuk meninjau kembali kebijakan hilirisasi. Dalihnya adalah kebijakan itu perlu dipikirkan dari azas biaya dan manfaat. Meskipun kalau dilihat ujung-ujungnya tidak jauh dari kepentingan negara-negara maju yang merasa terusik.

Wajar jika pernyataan IMF yang seolah ’mengintervensi’ kebijakan domestik Indonesia bikin berang para pejabat. Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan, misalnya, secara tegas menantang IMF supaya tidak macam-macam dengan Indonesia. Indonesia tidak bisa diintervensi!

Barat seharusnya mencontoh China saat berhubungan dengan Indonesia. Ada hubungan resiprokal. Mau nikel, China datang ke Indonesia dengan melakukan investasi. Di bidang infrastruktur, mereka ikut bangun proyek kereta cepat Jakarta-Bandung, meski menyisakan ’utang’ tetapi China masih membuka ruang negosiasi dan tentu saja janji transfer teknologi kereta cepat.

Pendekatan China ke Indonesia jauh lebih 'bersahabat' dibandingkan Barat. Mereka datang menawarkan investasi dan memberikan teknologi. Sementara Barat justru kini kian protektif, rasis, dan main gugat menggunakan instrumen yang mereka bikin sendiri.

Meskipun harus diakui, di Indonesia bukannya tanpa masalah, soal ketimpangan dan pemerataan ekonomi masih menjadi kendala besar. Ada juga kekhawatiran hilirisasi hanya akan dikuasai oleh para oligarki.

Pada posisi ini, Indonesia perlu meniru China yang mampu menciptakan stabilitas politik domestik dan independen dalam luar negerinya. Mereka tidak takut digertak oleh bangsa lain. Memiliki struktur ekonomi dan militer yang kuat dan menganggap ocehan barat sebagai angin lalu. Singkatnya, tak perlu menjadi 'Barat' untuk naik kelas sebagai negara maju, tengoklah China!

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Edi Suwiknyo
Editor : Edi Suwiknyo
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper