Bisnis.com, JAKARTA -- Sejarah mencatat bahwa huru-hara politik biasanya terjadi saat ekonomi sulit. Sukarno tumbang salah satunya dipicu oleh ketidakpuasaan masyarakat terhadap kinerja ekonomi pada waktu itu.
Nasib serupa juga dialami Soeharto. Dia lengser keprabon setelah krisis ekonomi menerjang Asia. Ekonomi Indonesia yang digadang-gadang kuat dan sempat mendapat julukan sebagai macan Asia, hancur dalam sekejap.
Berdasarkan catatan World Bank, ekonomi Indonesia pada waktu itu terkontraksi sangat dalam dari 7,8 persen pada tahun 1996, turun menjadi 4,7 persen pada 1997 dan mencapai titik nadir pada tahun 1998 yakni minus 13,1 persen.
Sukarno dan Soeharto menyisakan banyak pekerjaan rumah mengenai transformasi ekonomi yang sayangnya sampai kini berjalan di luar ekspektasi.
Trauma Hiperinflasi
Sekadar catatan, Indonesia pernah memiliki pengalaman traumatis terhadap krisis ekonomi dan hiperinflasi. Salah satunya terjadi pada dekade 1960-an. Saat itu Soekarno, Sukarno atau Bung Karno masih berkuasa dan menempatkan politik sebagai panglima.
Sukarno menancapkan kekuasaannya dengan semangat antikolonialisme. Setiap kebijakan baik politik, sosial, dan ekonomi pada waktu itu diarahkan untuk 'mengganyang' neo kolonialisme dan imperialisme atau nekolim.
Baca Juga
Intervensi pemerintah terhadap ekonomi begitu kuat. Setidaknya bank sentral dan tetek bengek-nya, masih melayani penguasa sebagai mesin pencetak uang.
Salah satu konsep ekonomi yang lahir era Sukarno adalah ekonomi berdikari. Berdikari lahir dari upaya Sukarno melawan hegemoni ekonomi politik kolonial yang merkantilis dan imperialistik.
Namun, kata Sukarno, berdikari sama sekali tidak anti kerja sama internasional, justru menurutnya konsep ini sangat terbuka bagi dunia internasional, terutama semua negara yang baru merdeka.
"Yang ditolak oleh Berdikari adalah ketergantungan kepada imperialis, bukan kerja sama yang sama-derajat dan saling menguntungkan!,' begitu kata Sukarno dalam naskah Pidato Nawaksara yang disampaikan di Sidang Umum MPRS tanggal 16 Juni 1966.
Sayangnya, ekonomi berdikari yang digaung-gaungkan Sukarno tak mampu berjalan mulus. Pasalnya, ketimbang merealisasikan mimpinya, Sukarno justru sibuk menaikkan gengsi di level internasional dengan membangun monumen dan proyek-proyek mercusuar.
Alhasil, kas negara kosong. Bank sentral waktu itu sampai-sampai harus mencetak duit untuk menopang gengsi orde lama. Kebijakan ini kelak menjadi bumerang, karena inflasi meroket lebih dari 635 persen. Puncaknya, kinerja ekonomi Sukarno yang jeblok merembet ke persoalan politik. Sukarno akhirnya lengser digantikan Soeharto.
Meski demikian, politik berdikari ala Sukarno juga meninggalkan warisan yang bisa diacungi jempol. Keberadaan PT Berdikari (Persero) hingga PT Krakatau Steel yang lahir dari proyek baja Trikora, tak bisa dilepaskan dari mimpi-mimpi Sukarno untuk memperoleh kedaulatan ekonomi yang berdiri di atas kaki sendiri.
Mafia Berkeley
Entah sudah direncanakan atau secara kebutulan, kemunculan sosok Soeharto bisa dibilang tepat. Dia muncul ketika pengaruh Sukarno secara politik mulai merosot.
Dalam pandangan mesianistik, Soeharto bisa diposisikan oleh pendukungnya sebagai ratu adil, sang juru selamat dari kemelut sosial, ekonomi, dan politik waktu itu.
Ada perbedaan orientasi yang mencolok antara rezim Sukarno dan Soeharto. Jika era Sukarno, politik sebagai panglima. Pada zaman Orde Baru atau rezim daripadanya Soeharto, perbaikan dan pembaruan orientasi ekonomi mulai menjadi fokus utama.
Soeharto tidak sendiri untuk melakukan tugas besar itu. Dia didukung oleh orang-orang yang ‘mumpuni’. Selain tokoh intelijen, penggagas pondasi pemerintahan Orde Baru, Ali Moertopo, dibelakang cah Kemusuk itu juga ada kalangan ekonom lulusan Berkeley, Amerika Serikat.
David Ransom, aktivis dan penulis kiri asal Amerika Serikat dalam buku The Berkeley Mafia and the Indonesian Massacre menjuluki kelompok ekonom ini dengan istilah 'Mafia Bekeley'.
Dalam sejarah ekonomi Indonesia, 'Mafia Berkeley', salah satu tokohnya adalah Widjojo Nitisastro dkk. punya peran penting, bahkan hingga kini anak cucu didiknya dikenal sebagai arsitek utama ekonomi Indonesia.
Salah satu pengaruh sekaligus warisan kelompok Berkeley dalam kebijakan Orde Baru adalah mulai terbukanya keran investasi asing dan pembangunan yang lebih terstruktur.
Apabila pada era Sukarno ada Rencana Ekonomi Perdjoeangan, di era Soeharto mengenal istilah Rencana Pembangunan Lima Tahun atau repelita. Inflasi menjadi bagian paling diperhatikan oleh rezim daripadanya Soeharto.
Soe Hok Gie, aktivis angkatan 66 dalam tulisan yang diterbitkan sebuah surat kabar pada 16 Juli 1969 menaruh harapan besar pada rencana Soeharto dengan repelitanya.
Dia menulis, melalui rencana itu, Soeharto punya cita-cita yang tak kalah besar (dari Sukarno) untuk menyejahterakan masyarakat desa. "Tahun ini adalah tahun pertama pembangunan lima tahun, tapi kesan saya masyarakat masih acuh terhadap rencana besar ini," tulis Gie.
Adapun, Soeharto dalam setiap kesempatan selalu menekankan bahwa repelita merupakan acuan sekaligus pegangan untuk menciptakan masyarakat adil dan makmur.
"Sehingga akhirnya nanti sesudah melampaui kesekian banyak repelita kita tiba pada tujuan akhir yang kita cita-citakan: masyarakat maju, adil dan makmur berdasarkan Pancasila," ucap Soeharto dalan pidato kenegaraan di DPR pada tahun 1972.
Kutukan Migas
Selain ditopang oleh kalangan intelektual, stabilitas ekonomi rezim daripadanya Soeharto juga ditopang oleh booming minyak dan gas atau migas selama dekade 1970-an. Indonesia waktu itu memperoleh rejeki nomplok karena naiknya harga migas. Berkah yang kemudian berubah menjadi kutukan pada dekade selanjutnya.
Wakil Presiden era Susilo Bambang Yudhoyono alias SBY, Boediono memberilan kesaksian yang cukup tegas pada peringatan hari pajak di kantor Ditjen Pajak (DJP) Juli 2019 silam.
Boediono bercerita sebelum tahun 1983, komoditas minyak bumi dan gas alam (migas) benar-benar menjadi andalan. Migas adalah urat nadi bagi pengelolaan fiskal saat itu. Sedangkan, potensi penerimaan dari sektor nonmigas nyaris tak tergarap secara optimal.
Pemerintah, waktu itu, tak perlu bersusah payah untuk memenuhi target pendapatan. Istilahnya, tanpa perlu banyak effort, pendapatan dari migas mengucur sangat deras ke kantong negara.
“Penerimaan migas luar biasa, tanpa keringat,” kata Boediono mengisahkan situasi pada waktu itu.
Surplus penerimaan migas membuat kantong pemerintah semakin tebal.
Hasilnya, menurut data Bank Dunia, dari tahun 1971 – 1981 tingkat pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia tidak pernah di bawah 5%. Tahun 1980, pertumbuhannya sempat tembus 10%.
Indonesia bahkan tercatat sebagai salah satu negara penghasil gas alam cair terbesar (LNG) di dunia pada 1981.
Wajar, jika dalam dokumen APBN 1981/1982, target penerimaan minyak bersih termasuk LNG dipatok naik 22,6 persen atau US$11,3 miliar, dibandingkan proyeksi penerimaan pada 1980/1981 senilai US$9,2 miliar.
Namun situasi rupanya cepat berubah. Badai datang lebih awal. Proyeksi pemerintah meleset. Resesi menghempas dunia yang berujung anjloknya harga minyak. Ekspor migas maupun nonmigas 1982/1983 hanya mencapai US$20,04 miliar atau turun 15,1%. Khusus migas realisasi ekspornya hanya US$16,12 miliar atau terkontraksi hampir US$3,3 miliar.
Bank Dunia kemudian mencatat pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 1982 anjlok sangat dalam. Hanya tumbuh 2,2%.
Bulan madu pemerintah dengan komoditas migas pun telah usai. ”Kita kena shock karena harga [migas] anjlok, APBN kena masalah, neraca pembayaran kena masalah."