Lebih Spesifik
Pengamat hukum pidana Fachrizal Afandi berpesan agar nantinya ganti rugi hingga sanksi administratif yang akan dilakukan bisa diatur secara jelas dan spesifik. Hal itu guna mencegah adanya penyelewengan.
"Kalau proses tidak transparan, akuntabel, dan jelas, serta tidak dijelaskan misalnya bayar [sanksi] berapa dan berapa kerugiannya, pasti akhirnya akan bayar ke aparat saja. Masalahnya adalah di transparansi dan akuntabilitas. Power tends to corrupt, absolute power corrupts absolutely," ujarnya, Rabu (1/2/2023).
Masih pada pasal 9, ayat 13 menjelaskan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyelesaian pelanggaran dan permohonan dari pihak yang melakukan pidana keuangan, akan diatur dengan Peraturan OJK.
Fachrizal lalu menjelaskan bahwa penyelesaikan perkara di luar persidangan memang dimungkinkan pada KUHP baru, di mana korban dan pelaku pidana, dalam istilahnya, berdamai. Namun, dalam konteks keadilan restoratif pidana sektor jasa keuangan, korban harus juga didefinisikan lebih detail.
"Korban itu siapa dulu? Negara? Atau masyarakat? Kalau misalkan seperti BLBI itu tidak bisa restorative justice," tuturnya.
Selain itu, lanjut Fachrizal, harus ada batasan spesifik yang diatur dalam menerapkan keadilan restoratif justice dan ultimum remedium pada perkara kerugian korban pidana keuangan.
Akademisi Fakultas Hukum Universitas Brawijaya itu mengatakan bahwa adanya penyelesaian perkara dengan keadilan restoratif dan ultimum remedium lantaran hukuman pidana (penjara) tidak menyelesaikan masalah, terutama bagi korban.
Kendati demikian, tegasnya, tidak semua kasus pidana keuangan bisa menerapkan keadilan restoratif dan ultimum remedium.
Satu masalah lain yang disoroti Fachrizal yakni belum ada aturan di Indonesia pada level undang-undang yang secara spesifik mengatur restorative justice.
"Memang di Peraturan Polisi itu tidak ada batasannya, itu masalah. Kita sampai sekarang belum ada aturan soal keadilan restoratif di level undang-undang," ucapnya.