Bisnis.com, JAKARTA -- Resesi dan inflasi menjadi momok semua negara. Semua orang, mulai dari kepala negara, menteri, media, pegiat bisnis hingga mungkin rakyat jelata sibuk membicarakannya. Istilah resesi dan inflasi kemudian kian populer di tengah ketidakpastian saat ini. Tetapi apakah ini juga bakal berlaku di Indonesia?
Jawabannya tentu beragam. Bisa jadi iya, mungkin banyak pula yang bilang tidak. Ekonom senior Chatib Basri, misalnya, menyebut Indonesia tidak akan mengalami resesi, menurutnya yang terjadi hanya sekadar pelambatan ekonomi.
Padahal, Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah mengeluarkan peringatan yang cukup jelas. Dia bilang, ekonomi Indonesia pada tahun 2023 bakal gelap. Bahkan lebih gelap dibandingkan dengan tahun 2022. Pernyataan itu diulang-ulang oleh kepala negara dalam berbagai momentum.
"Tahun depan bakal lebih gelap," begitu kata Jokowi akhir September lalu.
Pernyataan Jokowi tentu tidak dapat dilihat sebelah mata. Apalagi, yang melontarkan adalah seorang kepala negara. Orang nomor satu di Indonesia, yang memiliki segudang data dan analisa untuk menyatakan suatu kondisi bisa dibilang gelap, terang atau remang-remang.
Jokowi kemudian secara spesifik menyinggung tentang memanasnya eskalasi geopolitik global sebagai pemicunya. Konflik antara Rusia dan Ukraina belum surut. Rentetan peperangan yang sudah berlangsung hampir 8 bulan itu, menurutnya, telah mengubah lanskap ekonomi dunia. Krisis energi hingga pangan membuat penduduk di sejumlah negara, terutama Eropa, berteriak kencang.
Baca Juga
Namun demikian, tak perlu jauh-jauh memikirkan Eropa, yang memang sedang kemut-kemut memikirkan ketergantungan terhadap minyak dan gas Rusia, Indonesia pun kena getah dari konflik antara dua negara serumpun itu. Harga minyak melonjak. Subsidi bahan bakar minyak alias BBM bengkak. APBN hampir jebol.
Di sisi lain, bayang-bayang inflasi tinggi juga mengancam ekonomi dalam negeri, meskipun angkanya jauh di bawah negara-negara maju. Inflasi terkait erat dengan konsumsi.
Sementara, lebih dari setengah produk domestik bruto (PDB) ditopang oleh konsumsi. Artinya, kalau terjadi goncangan terhadap konsumsi masyarakat, bisa jadi ekonomi Indonesia ikut-ikutan tren resesi.
Secara awam resesi bisa terjadi ketika pertumbuhan ekonomi minus selama dua kuartal berturut-turut. Yang terakhir kalau tidak salah terjadi pada awal pandemi tahun 2020 lalu. Itupun karena imbas pengetatan terhadap mobilitas dan kegiatan masyarakat.
Pasar, toko, swalayan, hingga perdagangan antar negara nyaris berhenti. Ekspor-impor drop, industri banyak yang setop, akibatnya konsumsi anjlok. Namun saat semua sudah dibuka, ekonomi mulai pulih, kendati belum mencapai posisi ideal.
Hiperinflasi
Indonesia sejatinya pernah memiliki pengalaman traumatis terhadap krisis ekonomi dan hiperinflasi. Salah satunya terjadi pada dekade 1960-an. Saat itu Soekarno, Sukarno atau Bung Karno masih berkuasa dan menempatkan politik sebagai panglima.
Sukarno menancapkan kekuasaannya dengan semangat antikolonialisme. Setiap kebijakan baik politik, sosial, dan ekonomi pada waktu itu diarahkan untuk 'mengganyang' neo kolonialisme dan imperialisme atau nekolim.
Intervensi pemerintah terhadap ekonomi begitu kuat. Setidaknya bank sentral dan tetek bengek-nya, masih melayani penguasa sebagai mesin pencetak uang.
Salah satu konsep ekonomi yang lahir era Sukarno adalah ekonomi berdikari. Berdikari lahir dari upaya Sukarno melawan hegemoni ekonomi politik kolonial yang merkantilis dan imperialistik.
(Grafik ekonomi Indonesia 1961-2021, sumber: Bank Dunia)
Namun, kata Sukarno, berdikari sama sekali tidak anti kerja sama internasional, justru menurutnya konsep ini sangat terbuka bagi dunia internasional, terutama semua negara yang baru merdeka.
"Yang ditolak oleh Berdikari adalah ketergantungan kepada imperialis, bukan kerja sama yang sama-derajat dan saling menguntungkan!,' begitu kata Sukarno dalam naskah Pidato Nawaksara yang disampaikan di Sidang Umum MPRS tanggal 16 Juni 1966.
Sayangnya, ekonomi berdikari yang digaung-gaungkan Sukarno tak mampu berjalan mulus. Pasalnya, ketimbang merealisasikan mimpinya, Sukarno justru sibuk menaikkan gengsi di level internasional dengan membangun monumen dan proyek-proyek mercusuar.
Alhasil, kas negara kosong. Bank sentral waktu itu sampai-sampai harus mencetak duit untuk menopang gengsi orde lama. Kebijakan ini kelak menjadi bumerang, karena inflasi meroket lebih dari 635 persen. Puncaknya, kinerja ekonomi Sukarno yang jeblok merembet ke persoalan politik. Sukarno akhirnya lengser digantikan Soeharto.
Meski demikian, politik berdikari ala Sukarno juga meninggalkan warisan yang bisa diacungi jempol. Keberadaan PT Berdikari (Persero) hingga PT Krakatau Steel yang lahir dari proyek baja Trikora, tak bisa dilepaskan dari mimpi-mimpi Sukarno untuk memperoleh kedaulatan ekonomi yang berdiri di atas kaki sendiri.
Mafia Berkeley
Entah sudah direncanakan atau secara kebutulan, kemunculan sosok Soeharto bisa dibilang tepat. Dia muncul ketika pengaruh Sukarno secara politik mulai merosot.
Dalam pandangan mesianistik, Soeharto bisa diposisikan oleh pendukungnya sebagai ratu adil, sang juru selamat dari kemelut sosial, ekonomi, dan politik waktu itu.
Ada perbedaan orientasi yang mencolok antara rezim Sukarno dan Soeharto. Jika era Sukarno, politik sebagai panglima. Pada zaman Orde Baru atau rezim daripadanya Soeharto, perbaikan dan pembaruan orientasi ekonomi mulai menjadi fokus utama.
Soeharto tidak sendiri untuk melakukan tugas besar itu. Dia didukung oleh orang-orang yang ‘mumpuni’. Selain tokoh intelijen, penggagas pondasi pemerintahan Orde Baru, Ali Moertopo, dibelakang cah Kemusuk itu juga ada kalangan ekonom lulusan Berkeley, Amerika Serikat.
David Ransom, aktivis dan penulis kiri asal Amerika Serikat dalam buku The Berkeley Mafia and the Indonesian Massacre menjuluki kelompok ekonom ini dengan istilah 'Mafia Bekeley'.
Dalam sejarah ekonomi Indonesia, 'Mafia Berkeley', salah satu tokohnya adalah Widjojo Nitisastro dkk. punya peran penting, bahkan hingga kini anak cucu didiknya dikenal sebagai arsitek utama ekonomi Indonesia.
Salah satu pengaruh sekaligus warisan kelompok Berkeley dalam kebijakan Orde Baru adalah mulai terbukanya keran investasi asing dan pembangunan yang lebih terstruktur.
Apabila pada era Sukarno ada Rencana Ekonomi Perdjoeangan, di era Soeharto mengenal istilah Rencana Pembangunan Lima Tahun atau repelita. Inflasi menjadi bagian paling diperhatikan oleh rezim daripadanya Soeharto.
Soe Hok Gie, aktivis angkatan 66 dalam tulisan yang diterbitkan sebuah surat kabar pada 16 Juli 1969 menaruh harapan besar pada rencana Soeharto dengan repelitanya.
Dia menulis, melalui rencana itu, Soeharto punya cita-cita yang tak kalah besar (dari Sukarno) untuk menyejahterakan masyarakat desa. "Tahun ini adalah tahun pertama pembangunan lima tahun, tapi kesan saya masyarakat masih acuh terhadap rencana besar ini," tulis Gie.
Adapun, Soeharto dalam setiap kesempatan selalu menekankan bahwa repelita merupakan acuan sekaligus pegangan untuk menciptakan masyarakat adil dan makmur.
"Sehingga akhirnya nanti sesudah melampaui kesekian banyak repelita kita tiba pada tujuan akhir yang kita cita-citakan: masyarakat maju, adil dan makmur berdasarkan Pancasila," ucap Soeharto dalan pidato kenegaraan di DPR pada tahun 1972.
Kutukan Migas
Selain ditopang oleh kalangan intelektual, stabilitas ekonomi rezim daripadanya Soeharto juga ditopang oleh booming minyak dan gas atau migas selama dekade 1970-an. Indonesia waktu itu memperoleh rejeki nomplok karena naiknya harga migas. Berkah yang kemudian berubah menjadi kutukan pada dekade selanjutnya.
Wakil Presiden era Susilo Bambang Yudhoyono alias SBY, Boediono memberilan kesaksian yang cukup tegas pada peringatan hari pajak di kantor Ditjen Pajak (DJP) Juli 2019 silam.
Boediono bercerita sebelum tahun 1983, komoditas minyak bumi dan gas alam (migas) benar-benar menjadi andalan. Migas adalah urat nadi bagi pengelolaan fiskal saat itu. Sedangkan, potensi penerimaan dari sektor nonmigas nyaris tak tergarap secara optimal.
Pemerintah, waktu itu, tak perlu bersusah payah untuk memenuhi target pendapatan. Istilahnya, tanpa perlu banyak effort, pendapatan dari migas mengucur sangat deras ke kantong negara.
“Penerimaan migas luar biasa, tanpa keringat,” kata Boediono mengisahkan situasi pada waktu itu.
Surplus penerimaan migas membuat kantong pemerintah semakin tebal.
Hasilnya, menurut data Bank Dunia, dari tahun 1971 – 1981 tingkat pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia tidak pernah di bawah 5%. Tahun 1980, pertumbuhannya sempat tembus 10%.
Indonesia bahkan tercatat sebagai salah satu negara penghasil gas alam cair terbesar (LNG) di dunia pada 1981.
Wajar, jika dalam dokumen APBN 1981/1982, target penerimaan minyak bersih termasuk LNG dipatok naik 22,6 persen atau US$11,3 miliar, dibandingkan proyeksi penerimaan pada 1980/1981 senilai US$9,2 miliar.
Namun situasi rupanya cepat berubah. Badai datang lebih awal. Proyeksi pemerintah meleset. Resesi menghempas dunia yang berujung anjloknya harga minyak. Ekspor migas maupun nonmigas 1982/1983 hanya mencapai US$20,04 miliar atau turun 15,1%. Khusus migas realisasi ekspornya hanya US$16,12 miliar atau terkontraksi hampir US$3,3 miliar.
Bank Dunia kemudian mencatat pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 1982 anjlok sangat dalam. Hanya tumbuh 2,2%.
Bulan madu pemerintah dengan komoditas migas pun telah usai. ”Kita kena shock karena harga [migas] anjlok, APBN kena masalah, neraca pembayaran kena masalah."
Menuju Krisis Ekonomi
Setelah resesi global pada 1982, arah ekonomi Indonesia mulai sedikit bergeser. Sektor nonmigas yang sebelumnya menjadi anak tiri mulai diperhatikan.
Ekspor dan impor, reformasi pajak hingga investasi berbasis industri terus didorong. Tak heran hingga 1996 kondisi ekonomi Indonesia relatif stabil. Pertumbuhan ekonomi rata-rata bisa di atas 6 persen.
Thee Kian Wie, ekonom senior dalam The Soeharto Era & After: Stability, Development and Crisis 1966 – 2000 menulis bahwa perkembangan positif tersebut tak lepas dari peran tim ekonomi Orde Baru. Pertumbuhan sektor manufaktur menjadi salah satu yang paling cepat di kawasan.
Pada tahun 1995, World Bank bahkan mencatat bahwa manufaktur Indonesia masuk tujuh kekuatan terbesar di antara negara-negara berkembang. Pertumbuhan manufaktur ini menunjukkan bahwa transformasi struktur perekonomian Indonesia mulai berjalan.
Sebagai perbandingan jika pada 1969 peran manufaktur hanya 9,2 persen terhadap produk domestik bruto (PDB), pada 1995 kontribusi manufaktur ke PDB melesat ke angka 24,2 persen. Sebaliknya kontribusi sektor pertanian yang semula 49,3 persen pada 1969 hanya tersisa 17,2 persen pada 1995.
Namun demikian, perubahan struktur perekonomian ini tidak menjadi jaminan, stabilitas ekonomi Indonesia tidak bisa menahan tensi politik dari gerakan anti-Soeharto yang mulai memanas pada tahun 1996-an. Salah satu perisitiwa yang cukup menohok rezim Orde Baru yaitu penyerangan kantor PDI Pro Mega pada tanggal 27 Juli 1996.
(Presiden Soeharto saat masih berkuasa./Antara)
Dokumen APBN 1996/1997 secara tidak langsung mengonfirmasi bahwa peningkatan tensi politik ikut menjalar ke aktivitas ekonomi. Pada periode tersebut, pemerintah menghadapi overheated economy atau suhu ekonomi yang memanas. Inflasi meroket 8,86 persen pada 1995/1996.
Sementara itu, defisit transaksi berjalan juga membengkak menjadi US$6,9 miliar dari sebelumnya yang hanya sekitar Rp3 miliar. Kondisi ini semakin parah pada periode-periode setelahnya, apalagi munculnya krisis finansial secara global.
Seperti banyak diulas oleh para ekonom hingga akademisi, krisis finansial pada 1997 benar-benar menunjukkan bahwa struktur ekonomi Indonesia pada masa Orde Baru cukup rapuh. Pemerintah sampai harus ngutang ke IMF buat stabilisasi ekonomi.
Sementara bagi "The Old General", untuk pertama kalinya, dia harus menghadapi tantangan yang cukup serius bagi kelangsungan kekuasaannya yang sudah berumur tiga dasawarsa.
Persoalan merosotnya kinerja ekonomi ibarat membuka kotak pandora. Masalah lainnya, terutama praktik korupsi, kolusi dan nepotisme yang dipraktikan orde daripada Soeharto dan kroni-kroninya mulai mengemuka ke publik.
Puncaknya krisis ekonomi terjadi cukup dalam, inflasi tembus di angka 77,6 persen, ekonomi minus 13,7 persen, kerusuhan sosial, demonstrasi dimana-mana dan Soeharto lengser keprabon setelah 32 tahun berkuasa.
Thee Kian Wie kembali menyinggung bahwa krisis finansial di Asia & terhempasnya ekonomi Indonesia akibat imbas krisis itu menunjukkan betapa pentingnya good governance, yang ironisnya pernah dianggap tidak relevan oleh para ekonom.
"Indonesia memiliki sistem hukum yang lemah dan ketinggalan zaman, tidak efisien, birokrasi yang korup serta tidak adanya demokrasi,” tulis dia dalam artikel yang sama.
Dutch Disease dan Ancaman Resesi
Jokowi telah mengatakan bahwa ekonomi tahun depan gelap. Resesi membayangi seantero negeri. Sementara tren inflasi dan suku bunga tinggi juga tidak jelas mau sampai kapan akan berakhir.
Yang menjadi masalah, ekonomi Indonesia belum bisa move on. Reformasi struktural masih jalan di tempat. Transformasi ekonomi yang banyak digembar-gemborkan juga belum menuai hasil yang optimal.
Indonesia sepertinya masih mengidap Dutch Disease alias penyakit Belanda yang populer pada dekade 1970-an.
Penyakit Belanda adalah istilah yang banyak digunakan kalangan ekonom untuk menggambarkan imbas pertumbuhan sektor pertambangan atau komoditas ke perekonomian suatu negara.
Istilah ini merujuk pada peristiwa penemuan cadangan gas di Groningen, Belanda. Penemuan cadangan gas tersebut kemudian menimbulkan guncangan terhadap kinerja sektor manufaktur negeri kincir angin.
Di Indonesia, fenomena itu tampak dari data struktur ekonomi beberapa waktu terakhir. Sektor komoditas benar-benar menjadi urat nadi ekonomi. Komoditas ibarat 'Dewi Fortuna' bagi pemerintah yang sedang berupaya bangkit dari pandemi.
Rapor ekonomi Indonesia kuartal II/2022 mengonfirmasi hal itu. Alih-alih ingin pamer kinerja pemulihan ekonomi. Struktur ekonomi Indonesia selama tahun 2022 justru semakin lemah.
Kontribusi sektor manufaktur ke produk domestik bruto (PDB) anjlok. Sebaliknya, sektor pertambangan (komoditas) justru melonjak sangat signifkan.
Data kontribusi PDB kuartal 2/2019 (masa pra pandemi), misalnya, menunjukkan bahwa kontribusi manufaktur sempat tembus di angka 19,52 persen. Kontribusi di kisaran 19 persen ini bertahan meski pada tahun 2020 dan 2021 ekonomi Indonesia dihantam pandemi Covid-19.
Namun pada tahun 2022, baik kuartal 1 maupun kuartal 2, kontribusi sektor manufaktur terus menurun. Bahkan, kalau melihat kinerja sektor manufaktur selama kuartal 2/2022 anjlok hingga di angka 17,84 persen.
Capaian kinerja sektor manufaktur ini terendah selama lima tahun terakhir. Sebagai perbandingan, pada kuartal 2/2017, sektor manufaktur mampu berkontribusi ke PDB sebanyak 20,27 persen.
Setahun kemudian, kontribusi sektor manufaktur mulai turun menjadi 18,8 persen hingga akhirnya tersisa 17,84 pada kuartal 2/2022.
Sebaliknya, sektor komoditas (pertambangan dan penggalian) yang sejak kuartal 2/2017 kontribusinya tidak pernah tembus lebih dari 8 persen, hingga paruh tahun 2022 naik cukup signifikan.
Pada kuartal 1/2022, misalnya, komoditas tambang menyumbang ke PDB sebanyak 10,48 persen. Kuartal 2/2022 angkanya bahkan tembus hingga 13,06 persen. Rekor tertinggi capaian kuartal 2 selama 5 tahun terakhir.
Kinerja moncer sektor komoditas kemudian berimbas kepada tren positif pengelolaan fiskal. Setoran pajak maupun bukan pajak yang bersumber dari sektor sumber daya alam (SDA) mengucur deras. Penerimaan pajak Juli mampu tumbuh 58,8 persen. PNBP SDA Migas bahkan tumbuh 93,6 persen. APBN surplus.
Kendati demikian, pemerintah tidak boleh jumawa. Surplus APBN memang memberi ruang bernafas usai dihimpit dan dipaksa irit akibat pandemi Covid-19. Namun, tren penurunan kinerja manufaktur selama kuartal 2 lima tahun terakhir adalah warning.
Bahaya deindustrialisasi jelas mengancam di depan mata. Jika ini terus berlanjut, Indonesia bisa berhadapan dengan bencana struktural yang bisa berimbas kepada jatuhnya kinerja ekonomi ke jurang resesi dan berulangnya destabilisasi politik dalam negeri.