Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Pak Boediono dan Cerita 'Kutukan' Migas

Penerimaan migas bisa menjadi berkah sekaligus musibah. Reformasi penerimaan perlu terus digaungkan untuk memutus ketergantungan dari sektor migas.
Boediono/Antara
Boediono/Antara

Bisnis.com, JAKARTA -- Komoditas masih menjadi penentu stabilitas fiskal. Surplus APBN semester 1/2022, misalnya, perlu diakui adalah berkah dari momentum melonjaknya harga komoditas, bukan karena transformasi ekonomi atau reformasi pajak dan tetek bengek-nya itu.

Artinya kinerja APBN semester 1/2022 bukanlah capaian yang luar biasa. Malah, kalau mau melihat ke depan, ketergantungan APBN terhadap komoditas ibarat candu yang bisa menjadi bom waktu bagi pengelolaan anggaran.

Wakil Presiden era Susilo Bambang Yudhoyono alias SBY, Boediono sejatinya telah memberi peringatan yang cukup tegas pada peringatan hari pajak di kantor Ditjen Pajak (DJP) Juli 2019 silam.

Sebagai ekonom senior yang sudah makan asam garam dunia birokrasi, Boediono paham betul risiko menggantungkan nasib APBN kepada sektor komoditas.

Boediono bercerita sebelum tahun 1983, komoditas minyak bumi dan gas alam (migas) benar-benar menjadi andalan. Migas adalah urat nadi bagi pengelolaan fiskal saat itu. Sedangkan, potensi penerimaan dari sektor nonmigas nyaris tak tergarap secara optimal.

Apalagi selama kurun 1945 – 1983, terutama terjadi pada dekade 1970-an, Indonesia sangat ‘dibuai’ dengan booming migas.

Pemerintah, waktu itu, tak perlu bersusah payah untuk memenuhi target pendapatan. Istilahnya, tanpa perlu banyak effort, pendapatan dari migas mengucur sangat deras ke kantong negara.

“Penerimaan migas luar biasa, tanpa keringat,” kata Boediono mengisahkan situasi pada waktu itu.

Surplus penerimaan migas membuat kantong pemerintah semakin tebal. 

Indonesianis MC. Ricklefs, dalam A History of Modern Indonesia Since C 1200 menulis, berkah migas selain menyokong perekonomian, menjadi penentu stabilitas politik pada era keemasan Orde Baru.

Hasilnya, menurut data Bank Dunia, dari tahun 1971 – 1981 tingkat pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia tidak pernah di bawah 5%. Tahun 1980, pertumbuhannya sempat tembus 10%.

Indonesia bahkan tercatat sebagai salah satu negara penghasil gas alam cair terbesar (LNG) di dunia pada 1981.

Wajar, jika dalam dokumen APBN 1981/1982, target penerimaan minyak bersih termasuk LNG dipatok naik 22,6 persen atau US$11,3 miliar, dibandingkan proyeksi penerimaan pada 1980/1981 senilai US$9,2 miliar. 

Namun situasi rupanya cepat berubah. Badai datang lebih awal. Proyeksi pemerintah meleset. Resesi menghempas dunia yang berujung anjloknya harga minyak. Kondisi ekonomi Indonesia ikut rontok ke titik nadir. 

Ekspor migas maupun nonmigas 1982/1983 hanya mencapai US$20,04 miliar atau turun 15,1%. Khusus migas realisasi ekspornya hanya US$16,12 miliar atau terkontraksi hampir US$3,3 miliar. 

Bank Dunia kemudian mencatat pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 1982 anjlok sangat dalam. Hanya tumbuh 2,2%. 

Bulan madu pemerintah dengan komoditas migas pun telah usai.  ”Kita kena shock karena harga [migas] anjlok, APBN kena masalah, neraca pembayaran kena masalah." 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Edi Suwiknyo
Editor : Edi Suwiknyo
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper