Bisnis.com, JAKARTA – Putra Presiden Soeharto, Bambang Trihatmodjo bersikeras tidak akan membayar utang yang dibebankan kepadanya perihal dana talangan Sea Games 1997.
“Sebenarnya sampai dengan detik ini kenapa klien kami bersikukuh, bukan tidak mau membayar, tapi memang bukan kewajibannya terkait masalah dana talangan Rp35 miliar,” kata Kuasa Hukum Bambang, Hardjuno Wiwoho melalui keterangan pers, Kamis (24/3/2022).
Hardjuno menjelaskan bahwa Bambang mengakui adanya dana talangan Sea Games tahun 1997 dari Sekretariat Negara. Akan tetapi, dia meminta harus bijak melihat persoalan ini.
Itu karena persoalan yang terjadi adalah perhelatan negara. Jadi, menurutnya yang harus diketahui publik bukan dana talangan dari Bambang pribadi.
“Sebetulnya dana talangan berasal dari pungutan reboisasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sebesar Rp35 miliar, yang kemudian langsung dikirimkan ke Komite Olahraga Nasional Indonesia untuk Pemusatan Latihan Nasional atlet Indonesia yang akan bertanding di Sea Games 1997,” jelasnya.
Oleh karena itu, Bambang kukuh tidak satu rupiah pun yang masuk ke kantong pribadinya.
Sementara itu, apabila dilihat secara yuridis, Hardjuno menuturkan bahwa yang bertanggung jawab pada utang dana talangan Sea Games seharusnya adalah PT Tata Insani Mukti (PT TIM) sebagai badan hukum pelaksana Konsorsium Mitra Penyelenggara (KMP), bukan Bambang Trihatmodjo.
Bambang yang merupakan komisaris utama PT TIM selaku KMP Sea Games 1997 tidak memiliki saham sama sekali dalam perusahaan penyelenggara tersebut.
“Kita lihat subjek hukum di sini bukan konsorsium tapi PT Tata Insani Mukti. Yang mana dalam PT Tata Insani Mukti, klien kami Bambang Trihatmodjo itu komisaris utama tanpa saham. Pemegang sahamnya itu ada dua perusahaan di PT Tata Insani Mukti, itu adalah perusahaan di dalam perusahaan. Pertama Perusahaan Bambang Soegomo dan Enggartiasto Lukita,” terangnya.
Dengan begitu, Hardjuno mengatakan bahwa Sea Games tahun 1997 sama sekali tidak ada pembiayaan dari APBN. Dia pun akan menuntaskan persoalan tersebut.
“Pemerintah boleh memiliki hak tagih dari Rp35 miliar itu, tetapi jangan sampai salah alamat. Kan kasian,” katanya.
Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis Yustinus Prastowo mengomentari masalah tersebut. Dia menjelaskan bahwa prinsip hidup bersama adalah rule of law dan keteladanan.
“Ada aturan main dan nilai yang disepakati. Mereka yang sudah amat kaya diberi kesempatan menunjukkan kepatuhan pada hukum,” ujar Yustinus melalui akun Twitternya.
Wardhana Wiwoho & Partners pun membalas komentar Yustinus. Hardjuno menuturkan bahwa memandang keteladanan hukum tidak melihat sudah kaya atau belum. Akan tetapi melihat hukum secara komprehensif, adil, bijaksana dengan azas kemanfaatan secara filosofis, patut dan wajar.
“Hukum berlaku seimbang dan obyektif tidak tendensius sehingga terwujud kepastian hukum yang adil,bijak dan memiliki nilai kemanfaatan dengan logika dan nurani yang sehat,” ucapnya.