Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

BRIN Ungkap 2 Masalah Fundamental Riset dan Inovasi RI, Apa Itu?

Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Laksana Tri Handoko mengatakan terdapat 2 masalah fundamental terkait dengan riset dan inovasi di Indonesia.
Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Laksana Tri Handoko./Dok.infopublik.id
Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Laksana Tri Handoko./Dok.infopublik.id

Bisnis.com, JAKARTA -- Sektor riset dan inovasi di Tanah Air masih belum lepas dari permasalahan fundamental. Problematika yang dimiliki tersebut dinilai menjadi faktor utama tidak kompetitifnya produk riset nasional di kancah global.

Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Laksana Tri Handoko mengatakan terdapat 2 masalah fundamental terkait dengan riset dan inovasi di Indonesia.

Pertama, terlalu dominannya peran pemerintah. Sampai dengan saat ini, jelasnya, pelaku riset dan inovasi di Indonesia didominasi oleh lembaga pemerintah dan para aparatur sipil negara (ASN) di dalamnya.

Mengacu kepada standar UNESCO, sebanyak 80 persen belanja riset dan inovasi nasional harusnya bersumber dari swasta dan 20 persen pemerintah. Di Indonesia, belanja riset dan inovasi nasional 80 persen masih dari pemerintah.

Dibandingkan dengan negeri jiran Malaysia, sebanyak 75 persen belanja riset nasional dikontribusi oleh sektor swasta dan 25 persen lainnya baru berasal dari pemerintah.

"Mengapa swasta perlu dominan? Sebab, riset dan invasi secara alami merupakan proses menciptakan nilai tambah sehingga terkait erat dengan pengembangan produk," kata Laksana dalam diskusi virtual, Selasa (21/12/2021).

Pengembangan produk, lanjutnya, merupakan hal yang harusnya dilakukan oleh swasta sebegai pelaku usaha, baik skala besar, kecil, maupun menengah.

Menurutnya, kontribusi swasta di riset nasional yang rendah menunjukan bahwa kemampuan RI dalam mengembangkan produk bernilai tambah tinggi dan pertumbuhan ekonomi belum terjadi.

Kedua, critical mass sangat rendah karena terlalu banyak unit riset di berbagai kementerian dan lembaga (K/L) sehingga masing-masing tidak memiliki kapasitas dan kompetensi yang memadai untuk berkompetisi secara global.

"Sementara itu, riset itu kompetisinya global, bukan lokal lagi," lanjut Laksana.

Kondisi tersebut dinilai sangat mengkhawatirkan sebab menghambat upaya Indonesia keluar dari middle income trap yang dimungkinkan jika suatu negara sudah menciptakan dan menjual produk nilai tambah yang tinggi.

Untuk meningkatkan nilai tambah, kata Laksana, diperlukan program pengembangan produk berbasis riset dan inovasi.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Rahmad Fauzan
Editor : Edi Suwiknyo
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper