Bisnis.com, JAKARTA -- Moewardi adalah dokter lulusan STOVIA. Berbeda dengan para seniornya, Moewardi mengambil jalan pedang dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Moewardi tercatat sebagai mahasiswa School Tot Opleiding Voor Indische Arsten (STOVIA) pada 1926. Lulus dari STOVIA, dia kemudian melanjutkan di Nederlansch Indische Arts School (NIAS) hingga lulus sebagai dokter pribumi pada 1931.
Nama Moewardi semakin berkibar saat persiapan kemerdekaan Indonesia. Dia sangat aktif dalam Barisan Pelopor, sebuah organ bentukan Jepang yang dipimpin Sukarno. Moewardi juga terlibat dalam persiapan pembacaan teks proklamasi kemerdekaan di Pegangsaaan Timur.
Setelah proklamasi kemerdekaan, Moewardi ditunjuk sebagai Ketua Umum Barisan Pelopor menggantikan Bung Karno yang diangkat menjadi presiden. Barisan pelopor kemudian berubah menjadi Barisan Banteng pada akhir 1945.
Awal 1946, Moewardi memindahkan Barisan Banteng dari Jakarta ke Solo. Moewardi juga terjun ke langsung politik dengan membentuk Gerakan Rakyat Revolusioner (GRR) pada Agustus 1948.
GRR adalah gerakan yang melawan agitasi dan aksi antipemerintah yang dilancarkan oleh Front Demokrasi Rakyat (FDR).
Sementara, FDR adalah fusi golongan politik beraliran kiri, dua yang terbesar antara lain Partai Komunis Indonesia (PKI) & Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo).
Tokoh kelompok ini antra lain Moeso (veteran komunis 1926), Amir Sjarifuddin Harahap (mantan perdana menteri), dan Soemarsono.
GRR, termasuk Barisan Banteng, adalah salah satu kekuatan besar di Solo selama revolusi kemerdekekaan. Moewardi adalah tokoh dari dua kelompok ini. Baik GRR maupun Barisan Banteng terlibat konfrontasi terbuka dengan sejumlah faksi di kota Solo.
Hingga, suatu hari, peristiwa naas bagi Moewardi tiba. Harry A. Poeze dalam buku Madiun 1948: PKI Bergerak menulis, pada pagi hari tanggal 13 September 1948, suasana kota Solo semakin memanas.
Perselisihan antara kubu FDR, pendukung pemerintah, dengan berbagai macam faksi di dalamnya hampir mencapai titik klimaks. Pertempuran terbuka pecah.
Saat itu, tokoh GRR dan BB, Moewardi sedang menuju ke Rumah Sakit Jebres. Di rumah sakit itu dia adalah seorang dokter bedah.Saat sedang sibuk mengoperasi anak. Tiba-tiba, pintu kamarnya diketuk orang.
Moewardi membuka pintu tanpa curiga. Pintu dibuka. Dia mendapati empat orang pemuda berdiri di depannya. Salah satu di antara pemuda itu berkata ke dokter yang masih berumur 41 tahun tersebut.
“Pak di luar ada orang luka parah yang minta tolong,” celetuk salah satu pemuda tak dikenal tersebut.
Moewardi melangkah ke luar. Dia mengikuti arah empat pemuda itu berjalan. Namun sampai di depan rumah sakit, Moewardi mendapati situasi yang sebaliknya.
“Sampai di luar, dia lalu ditodong oleh mereka dan dibawa dengan sebuah mobil open-kap berwarna hijau.”
Sejak itu, Moewardi lenyap dari gegap gempita revolusi. Dia hilang tanpa diketahui rimbanya. Peristiwa penculikan Moewardi semakin memanaskan kondisi kota Solo. Kubu kiri, FDR & Pesindo, dituding sebagai pemicunya.
Gesekan antar faksi politik pada waktu itu tak terelakan lagi. Indonesia yang masih berumur 3 tahun terjebak dalam potensi perang saudara.
Militer, kubu pendukung pemerintah, hingga kelompok oposisi gabungan kelompok kiri dan sosialis yang tergabung dalam FDR sudah saling berhadapan. Moncong senjata sesekali diletupkan. Hilangnya Moewardi juga membuat GRR dan FDR bersikap.
Harry A Poeze menulis bahwa pada tanggal 14 September 1948 pukul 12.00 WIB, GRR memberikan pernyataan. Mereka berbicara tentang upaya kudeta di Madiun. Tak hanya itu, GRR juga mencela penculikan Moewardi.
“Dalam kesimpulannya, GRR berdiri di belakang penguasa siapapun yang akan memerangi FDR – antek-antek NICA [Belanda] itu,” tukas Poeze.