Bisnis.com, JAKARTA -- Proses pengadaan obat terapi Covid-19 perlu diawasi secara serius. Sebab, tanpa pengawasan ketat, salah satu barang paling strategis dalam penanganan pandemi itu rawan dikuasai oleh segelintir pihak.
Peristiwa penggerebekan PT ASA di Jakarta Barat menjadi contoh, betapa obat terapi virus Corona itu diburu oleh para pemburu rente. Para pemburu rente itu menimbun hingga memainkan harga di pasaran. Akibatnya barang langka dan membuat penanganan pandemi tak optimal.
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Invetasi Luhut Binsar Pandjaitan bahkan secara tegas meminta aparat menindak para penimbun atau pemburu rente obat-obatan Covid-19.
"Lakukan pemeriksaan-pemeriksaan terhadap kasus-kasus importir atau produsen dan distributor, sehingga terjadi kelangkaan di apotik,” tegas Luhut belum lama ini.
Bisnis telah melakukan pengecekan data importasi barang penanganan Covid-19. Hasilnya, sebagian besar barang penanganan Covid-19 dikuasai oleh swasta. Sebagian perusahaan tercatat terafiliasi dengan mantan militer hingga korporasi-korporasi besar.
Meski demikian, sejatinya, dugaan soal ketidakberesan importasi obat penanganan Covid-19 itu sudah terendus sejak tahun lalu. Laporan Hasil Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu (LHPDTT) Kementerian Kesehatan tahun 2020 yang dipublikasikan BPK mengungkap dugaan praktik tak beres dalam pengadaan obat Covid-19.
Baca Juga
Laporan BPK itu menyebutkan potensi penyalahgunaan importasi obat donasi terkait penanganan Covid-19 terjadi melalui mekanisme special acces scheme (SAS). Apalagi importir juga diberikan kebebasan untuk tidak dikenakan bea impor atau bea masuk.
Temuan BPK yang diindikasikan mengungkap adanya kebocoran dalam pengadaan obat Covid-19/Sumber: LHP BPK
Hasil pemeriksaan BPK kemudian menunjuk secara spesifik kejanggalan dalam importasi obat-obatan Covid-19. Menariknya, salah satu temuan mengungkap keberadaan lembaga milik taipan Mochtar Riady, pendiri Grup Lippo.
Kejadian itu bermula pada tanggal 20 April 2020. Waktu itu, Mochtar Riady Nanotechnology Institute mengajukan permohonan pemasukan 22.400 tablet hydroxycloroquine melalui Mekanisme Jalur Khusus (SAS) untuk Rumah Sakit Siloam.
Permohonan tersebut mendapat persetujuan dari Biro Hukum, Organisasi, dan Kerjasama Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dengan Nomor B-904347/BNPB/HOKS/HK.10.01/04/2020 tanggap 24 April 2020 dan mendapatkan pengecualian Ketentuan Tata Niaga Impor dan Rekomendasi Bea Masuk, Cukai, dan PDRI.
Masalahnya, dalam permohonan itu Direktorat Produksi dan Distribusi Kefarmasian Kemenkes tidak ikut berproses dalam memberikan rekomendasi. Meski demikian, importir telah mendapat rekomendasi oleh Badan POM dengan beberapa catatan.
Pertama, pihak Mochtar Riady Nanotechnology harus menyerahkan donasi tersebut kepada BNPB untuk didistribusikan, atau jika akan didistribusikan langsung oleh pemohon agar menyerahkan rencana tujuan distribusi obat donasi.
Kedua, melaporkan secara berkala distribusi obat yang dihibahkan kepada Badan POM melalui Direktorat Pengawasan Distribusi dan Pelayanan Obat dan NPP.
Namun demikian, lanjut laporan BPK, sampai dengan pemeriksaan berakhir, BPK belum menyatakan menemukan dokumen baik penyerahan atau laporan distribusi obat donasi hingga dokumen laporan berkala distribusi obat.
"Hingga pemeriksaan berakhir yaitu pada 27 Desember 2020 tim pemeriksa BPK belum mendapatkan dokumen atas dua rekomendasi Badan POM tersebut," demikian penjelasan lembaga auditor negara dalam dokumen tersebut.
Hydroxychloroquine sendiri adalah obat untuk mencegah dan mengobati penyakit malaria. Selain itu, obat ini memiliki efek anti radang dan bias menekan respon sistem imun sehingga dapat meredakan gejala lupus atau rheumatoid arthritis.
Obat ini sempat digunakan untuk terapi pasien pada awal pandemi Covid-19. Meski demikian, pada pertengahan 2020, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) resmi menghentikan penggunaan obat tersebut.
Kala itu, WHO menyatakan bahwa keputusan ini diambil setelah hasil uji coba menunjukkan jika hydroxychloroquine tak mengurangi tingkat kematian pasien Covid-19.
Sampai akhir Juli lalu, pemerintah mencatat importasi bahan obat, obat, dan vitamin untuk terapi Covid-19 mencapai US$11 juta.
Sayangnya pihak RS Siloam dan Lippo Group enggan mengomentari temuan BPK tersebut. Direktur Humas PT Lippo Karawaci Tbk Danang Kemayan Jati saat ditemui Bisnis di sebuah lokasi di Jakarta Pusat tak mau memberikan klarifikasi seputar temuan itu.
Hal serupa juga diungkapkan Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Rita Rosita. "Silakan tanya di BPK dan BPOM," jelasnya.
Bisnis juga telah mencoba mengklarifikasi perkembangan importasi obat tersebut ke BPOM. Namun hingga berita ini diturunkan Kepala BPOM Penny Lukito belum merespons pesan tertulis yang disampaikan Bisnis.
Importasi Covid-19
Importir alat deteksi Covid-19 seperti PCR dan Rapid Test Antigen dikuasai secara dominan oleh kelompok perseorangan atau korporasi non-pemerintah.
Malahan sejumlah korporasi itu tidak memiliki latar belakang bisnis yang berkaitan dengan kesehatan masyarakat.
Berdasarkan dokumen importasi yang diterima Bisnis, dominasi impor alat kesehatan dari pihak korporasi non pemerintah mencapai 77,16 persen dari keseluruhan pengadaan barang selama tiga semester pandemi virus Corona di Tanah Air.
Tabel importasi alat penanganan Covid-19. Sumber: pemerintah
Sementara itu, pemerintah hanya memegang 16,67 persen dari keseluruhan aktivitas impor alat kesehatan penanganan Covid-19 itu. Sisanya, 6,18 persen pengadaan barang dari luar negeri dilakukan oleh lembaga non-profit.
Sejumlah entitas bisnis swasta yang cukup dominan dalam aktivitas importasi itu di antaranya perusahaan kecantikan PT Jenny Cosmetics dengan nilai impor sebesar US$43,6 juta atau 4 persen dari keseluruhan impor untuk pasar domestik, kelompok usaha Dexa Group PT. Beta Pharmacon sebesar US$36,4 juta atau 3,34 persen, perusahaan teknologi medis asal Jerman Dräger Medical Indonesia sebesar US$21,5 juta atau 1,98 persen.
Selain itu, perusahaan tekstil multi nasional PT Pan Brothers US$21,07 juta atau 1,93 persen, perusahaan ketel uap PT Trimitra Wisesa Abadi sebesar US$20,8 juta atau 1,91 persen, perusahaan laboratorium diagnostik molekular PT Sinergi Utama Sejahtera sebesar US$20,8 atau 1,91 persen dan perusahaan alat kesehatan Cahaya Medical Indonesia sebesar US$20,7 juta atau 1,90 persen.
Importasi alat kesehatan untuk penanganan Covid-19 dari pemerintah dikerjakan oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana atau BNPB sebesar US$68,6 juta atau 6,29 persen dari pengadaan barang untuk kebutuhan dalam negeri.
Selain BNPB, Pusat Keuangan Kementerian Pertahanan juga melakukan impor dengan nilai mencapai US$18,7 juta atau 1,72 persen.
Dari lembaga non-profit, Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia terbilang melakukan impor alat kesehatan yang relatif tinggi dengan nilai US$21,07 juta atau 1,93 persen dari kebutuhan nasional.
Adapun alat deteksi Covid-19 seperti PCR dan Rapid Test Antigen diimpor dengan nilai mencapai US$530,6 juta atau menyentuh di angka 52,2 persen dari keseluruhan pengadaan alat kesehatan yang didatangkan dari sejumlah negara pemasok.
Perinciannya, impor PCR Test menembus di angka US$340,5 juta atau sekitar 31,20 persen dari keseluruhan alat kesehatan yang dibeli dari luar negeri.
Ihwal rapid test, importir dalam negeri membeli dengan nilai US$190,1 juta atau 17,42 persen. Produk impor alat kesehatan itu kebanyakan didatangkan dari China dengan nilai transaksi mencapai US$541,3 juta atau 49,61 persen dari keseluruhan negara penjual.
Selanjutnya diikuti Korea Selatan dengan nilai transaksi mencapai US$150,5 juta atau 13,5 persen dari keseluruhan negara mitra. Mayoritas alat kesehatan hasil impor itu didatangkan melalui pintu Kantor Pelayanan Utama (KPU) Bea dan Cukai Soekarno-Hatta.
Malahan barang impor yang sampai di pintu Soekarno-Hatta itu mencapai nilai US$828,1 juta atau 75,89 persen dari keseluruhan barang yang masuk ke Tanah Air.
Bisnis masih mencoba menghubungi pihak-pihak terkait untuk mengklarifikasi persoalan tersebut. Pihak BNPB yakni Plt Deputi Bidang Penanganan Kedaruratan BPNN Dody Ruswandi saat dikonfirmasi belum memberikan jawaban terkait izin importasi alat penanganan Covid-19.