Bisnis.com, JAKARTA - Ekonom Senior Indef, Enny Sri Hartati mempertanyakan langkah pemerintah mengusulkan revisi atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP) ke DPR yang melebar ke sejumlah objek pajak termasuk sembako.
Dalam draf revisi UU tersebut termuat hal pokok mulai dari Pajak Pertambahan Nilai (PPN) hingga Tax Amnesty Jilid II. Bahkan pemerintah berencana mengenakan tidak saja Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk sembilan bahan pokok (sembako), tapi juga sektor jasa pendidikan.
Enny mengatakan rencana pengenaan PPN tidak perlu dilakukan lewat revisi undang-undang. Sebaliknya, hal itu cukup direvisi lewat Peraturan Menteri Keuangan (PMK) sebagai bendahara negara.
"Aturan yang benar kan begini, apakah itu tarif, itu kewenangan Kementerian Keuangan dan cukup dengan PMK, ngapain masuk ke revisi UU KUP, itu menimbulkan suatu pertanyaan publik," kata Enny dalam diskusi bertajuk "Pendapatan Negara dan Keadilan Sosial” di Gedung DPR yang diselenggarakan MPR, Rabu (16/6/2021).
Enny menjelaskan bila alasan pemerintah membahasnya di dalam revisi undang-undang untuk menyiapkan kerangka kerja, sebaiknya tidak perlu membahas lebih detail terkait jenis barang dan jasa yang akan dikenakan pajak.
Seharusnya, ujarnya, yang menjadi pembahasan hanya pada perubahan jenis PPN dari yang tarifnya tunggal menjadi multitarif. Termasuk juga dengan skema pajak PPN value added yang sifatnya menjadi final.
"Undang-undang itu tidak perlu terlau teknis. Yang perlu dibahas itu perubahan misalnya, PPN itu dari single ke multitarif, dari skema pajak PPN value added jadi ada beberapa yang sifatnya final. Itu memang perlu di undang-undang," ujarnya.
Sementara itu, Anggota MPR Fraksi Gerindra Kamrussamad mengatakan bahwa kalaupun nanti pemerintah ingin mengajukan pajak sembako, maka pertanyannya adalah soal kondisi ekonomi.
“Kita akan tanya, PMK 116 tahun 2017 diberlakukan saat ekonomi tumbuh positif, sektor riil bekeraja, bergerak, pengangguran relatif terkendali dan kemiskinan terkontrol” tuturnya.
Akan tetapi, kondisi pandemi Covid-19 yang masih mendera saat ini akan membuat masyakat sangat tebebani dengan kebijakan itu.
“Jadi kalau kemudian hal itu mau diatur di tingkat undang-undang, kita lihat lagi dulu kondisi ekonomi kita dan rasa keadilan masyarakat. Alasannya, karena komponen terbesar dalam sumbangan PDB kita termasuk sembko,” paparnya.