Bisnis.com, JAKARTA - Orang yang sudah meninggal sudah tidak lagi bisa berpuasa, tetapi saat masih hidup bisa saja dia memiliki hutang puasa.
Dikutip dari nu.or.id, utang puasa orang yang telah meninggal dapat dibayar dengan fidyah (makanan pokok untuk orang miskin) meski sebagian ulama membolehkan qadha puasa oleh wali almarhum. Tetapi ulama berbeda pendapat perihal ukuran pembayaran fidyah utang puasa orang yang telah meninggal dunia.
Dalil atas pendapat ini adalah hadits riwayat Ibnu Umar RA, Rasulullah SAW bersabda ‘Siapa saja yang wafat dan ia mempunyai utang puasa, hendaklah orang miskin diberi makan pada setiap hari utang puasanya.’ Puasa adalah ibadah yang tidak dapat digantikan pada saat orang hidup, maka ia tidak digantikan setelah matinya seperti ibadah salat
Jika almarhum meninggal sebelum datang Ramadan berikutnya, maka setiap hari utang puasanya dibayarkan sebanyak satu mud kepada orang miskin. Tetapi jika almarhum meninggal setelah Ramadhan berikutnya tiba, mazhab Syafi’i memiliki dua pendapat.
Pertama, walinya wajib membayar dua mud atas utang puasa per harinya; dengan rincian satu mud sebagai fidyah puasa dan satu mud lagi atas penundaan qadha puasanya. Kedua, wali cukup membayar fidyah sebanyak satu mud atas penundaan qadha puasanya karena ketika seseorang mengeluarkan satu mud atas penundaan maka dengan sendirinya hilang kelalaian tersebut. Dengan demikian kasusnya serupa dengan kasus orang yang menunda puasanya tanpa kelalaian dan tidak wajib kafarah padanya.
Sebagian ulama mengatakan bahwa utang puasa orang yang telah meninggal dunia dapat dibayar dengan fidyah atau sedekah makanan pokok sebanyak satu mud atau bobot seberat 675 gram/6,75 ons beras. Ulama mazhab Syafi’i memiliki dua pendapat perihal seseorang yang meninggal dan belum sempat meng-qadha utang puasanya baik dengan maupun tanpa uzur. Pertama, (ini pendapat paling masyhur dan shahih) menurut penulis dan mayoritas ulama serta manshuh pada qaul jadid, wajib dibayarkan fidyah satu mud yang diambil dari peninggalan almarhum.
Puasa yang dilakukan walinya tidak sah. Pandangan ini dipegang oleh Al-Qadhi Abu Thayyib dalam Kitab Al-Mujarrad. Ini pendapat yang manshush dari Imam As-Syafi’i dalam kitab-kitabnya yang terbaru dan kebanyakan pandangan lamanya. ADVERTISEMENT Kedua, pandangan qadim.
Pandangan ini sahih menurut sekelompok ulama terkemuka mazhab Syafi’i. Pandangan ini dapat menjadi alternatif. Wali almarhum boleh berpuasa untuk membayar utang puasa almarhum. Puasanya juga sah. Tetapi boleh juga utang puasa almarhum dibayar dengan fidyah dan bebas tanggungan almarhum. Pembayaran puasa almarhum itu tidak wajib dilakukan oleh walinya, tetapi oleh orang yang dipilih oleh walinya. Argumentasi atas kedua pendapat ini terdapat di dalam kitab.