Bisnis.com, JAKARTA- Rancangan Peraturan Pemerintah Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat dinilai perlu diperbaiki karena memiliki beberapa kelemahan.
Agus Riehawan, pengamat hukum dari Universitas Negeri Surakarta (UNS) menyoroti tentang Pasal 12 RPP yang sangat rigit mengatur tentang pemberian sanski administratif berupa denda.
Berdasarkan pasal itu, sanksi denda diberikan maksimal 50 persen dari total keuntungan sejak terjadi pelanggaran atau 10 persen dari penjualan sejak terjadi pelanggaran.
Menurutnya, ketentuan ini sangat tidak efektif dan tidak logis. Pengaturan sanksi rigit itu menyebabtkan KPPU akan kesulitan dalam melakukan penghitungan karena semua bergantung pada ketersediaan data dan KPPU tidak memiliki wewenang untuk melakukan penyitaan.
“Bagaimana cara menghitung. Hakim atau majelis komisi tidak punya kapasitas untuk itu. Bagaimana cara hitung itu. Akan menjadi tidak arif dan bijaksana, seorang hakim atau penyelesai masalah putusannya harus valid dan bijaksana fleksibel saja jangan dibatasi, itu jadi hakim matematik kalkulator,” ujarnya, Kamis (11/2/2021).
Dia mencontohkan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam menggelar sidang perkara sengketa pemilihan umum tidak menjatuhkan putusan secara matematik namun lebih menyasar ke keadilan substantif. Hakim, tuturnya, dalam putusannya harus berdasarkan kearifan dan kebijaksanaan.
Baca Juga
“Boleh jadi hukumannya denda 100 persen, sesuai bukti, boleh saja kan. Kalau 50 persen itu ukurannya dari mana atau 10 persen dari mana. Ukuran moralitasnya dari mana. Semua putusan hukum dasar utamanya moralitas,” terangnya.
Selain Pasal 12, dia juga menyoroti keberadaan Pasal 13 ayat 3 yang memberikan ketentuan penanganan perkara keberatan di Pengadilan Niaga minimal 3 bulan dan maksimal 1 tahun. Menurutnya ketentuan tersebut tidak ideal karena dalam sistem peradilan modern yang memberlakukan asas peradilan cepat.
“Ukuran ini tidak efektif dan berarti tidak ada kepastian hukum. Yang efektif buat sanksi yang bikin orang tidak banding,” ucapnya.
Dia menuturnya, saat ini sudah ada sistem peradilan cepat sehingga tidak masuk di akal jika penanganan perkara terkait persaingan usaha harus diberi pagar diselesaikan minimal dalam 3 bulan.
“Logikanya tiga bulan buat apaa saja. Tidak efektif dan terlalu lama,” ujarnya.
Sementara itu, Oce Madril, pengamat hukum dari Universitas Gajah Mada (UGM) menilai pengaturan sanksi denda maksimal harus digunakan untuk menggambarkan titik tertinggi dari suatu sanksi, meski dalam penjatuhan putusan majelis komisi atau hakim seringkali tidak memberikan denda maksimal.
“Ini bicara denda maksimal belum tentu akan digunakan, tapi ukuran paling tinggi harus digunakan untuk menggambarkan paling tinggi. Jangan sampai denda paling tinggi terlihat ini masih moderat. Jadi ambang batasnya harus kita naikkan memang. Misalnya 50 persen dari penjualan nilanya. Itu kan bicara titik paling tinggi. Maka dalam kaitan itu, menurut saya masih logis dan masih rasional,” terangnya.
Dia pun menilai pengaturan tentang batas waktu penyelesaian perkara minimal 3 bulan dan maksimal 1 tahun pada Pengadilan Niaga merupakan suatu kerugian bagi pelaku usaha yang biasanya menerapkan prinsip sederhana, cepat dan mudah.
“Kalau terlalu lama maka prinsip sederhana cepat akan terlanggar mungkin maksimal tiga bulan, satu bulan atau 45 hari kerja. Ada beberapa pilihan rumusan jangan sampai terlalu lama. Rentang waktu yang menunjukkan proses ini cepat sederhana dan cepat.