Bisnis.com, JAKARTA - Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan atau KontraS menggugat penuntasan kasus Talangsari, Lampung.
Kasus tersebut terjadi 32 tahun lalu, tepatnya pada 7 Februari 1989.
Seperti diunggah website kontras.org, kasus itu terjadi pada 7 Februari 1989 subuh, pukul 04.00 WIB.
Pondok Pesantren Pengajian Warsidi diserang oleh Komando Korem Garuda Hitam 043 di bawah pimpinan Kolonel Hendropriyono.
Saat itu, versi pemerintah menyebutkan kelompok Warsidi sebagai GPK atau gerakan pengacau keamanan. Aparat melakukan operasi militer untuk mengatasi gangguan GPK tersebut.
Penyerangan pasukan militer menurut KontraS menyebabkan 130 orang meninggal dunia, 46 mengalami penyiksaan, 77 orang mengalami pengusiran, 53 orang dirampas kemerdekaannya.
Hendro Priyono, dalam wawancara kepada Allan Nairn pada 16 Oktober 2014 menyatakan siap jika ada pengadilan HAM atas kasus yang dikenal sebagai peristiwa Talangsari tersebut, demikian ujar KontraS.
Sementara di akun twitternya, KontraS mempetanyakan penuntasan peristiwa Talangsari di era Presiden Jokowi.
Akun KontraS mencuit bahwa penuntasan kasus itu terkesan diulur-ulur dan semakin dijauhkan dari proses hukum oleh Tim Terpadu yg dibuat PolhukamRI.
Penuntasan #PeristiwaTalangsari di era Presiden @jokowi diulur-ulur dan semakin dijauhkan dari proses hukum oleh Tim Terpadu yg dibuat @PolhukamRI
— KONTRAS (@KontraS) February 7, 2021
Sikap KontraS dan Paguyuban Keluarga dan Korban Talangsari Lampung (PK2TL) bisa diakses selengkapnya di https://t.co/ed6CPzDJlf pic.twitter.com/75Zj9Q9GTj
Sementara itu, seperti disampaikan Antara, pada 2019 terjadi deklarasi damai terhadap kasus pelanggaran HAM Berat di Talangsari, Lampung.
Deklarasi damai tersebut dinilai memiliki skenario politik yang ingin diterapkan pada peristiwa Talangsari 1989 melalui jalur non yudisial tanpa adanya akuntabilitas dan juga proses pengungkapan kebenaran, akses terhadap keadilan serta pemulihan kepada korban dan keluarga korban.