Praktik \'Jualan\'
Praktik jualan program lulus Asesmen Nasional disoroti Perhimpunan untuk Pendidikan dan Guru. Pasalnya, saat ini ternyata masih banyak praktik ‘jualan’ agar bisa lulus Asesmen Nasional (AN).
“Ada beberapa poster menunjukkan jualan tips-tips untuk lulus AN, yang sedang ramai diperbincangkan, jika dilihat lebih teliti, lembaga penyelenggaranya adalah sekolah yang selama ini diduga kuat oleh publik sebagai grup think thank-nya Kemdikbud,” ungkap Satriwan Salim, Koordinator Perhimpunan untuk Pendidikan dan Guru (P2G).
Satriwan menduga praktis bisnis pendidikan model ini dibiarkan terjadi. Padahal, secara regulasi, AN itu bukan penentu kelulusan siswa. Praktik penyelenggaraan AN bukan bertujuan melakukan penilaian siswa seperti UN dulu.
“Tapi, peluang bisnis dari Sekolah [Swasta] yang memang jualan AN ini laku di masyarakat yang belum paham secara utuh dan komprehensif tentang AN. Bisnis model ini tentu memanfaatkan persepsi publik: guru, siswa, orangtua yang belum paham seutuhnya tentang Asesmen Nasional, yang berbeda dari Ujian Nasional,” ungkapnya.
Hal ini menjadi kekhawatiran bagi perhimpunan guru atas pelaksanaan AN pada Maret 2021 mendatang.
“UN dulu itu menjadi beban siswa, guru, dan orangtua ya karena model-model bisnis pendidikan. Bahaya jika [kebijakan] pendidikan dibisniskan seperti ini. Praktik-praktik seperti ini menjadi faktor yang membuat pendidikan kita makin buruk, makin terjatuh,” imbuhnya.
Dalam pelaksanaan UN, siswa dinilai hanya dijadikan objek ujian. Orientasi pendidikan hanya kepada pengetahuan. Bagaimana cara agar siswa "lulus" ujian Asesmen Nasional dengan menjual praktik atau cara-cara pintas menjawab soal.
“Dengan begini, tujuan pendidikan karakter makin dipinggirkan. Penguatan nilai-nilai karakter bukan lagi prioritas sekolah. Prioritas sekolah lebih dominan kepada bagaimana caranya agar sekolah mendapatkan milai AN yang tinggi sebab akan menjadi prestise sekolah sampai kepala daerah,” tambahnya.
Lagi-lagi, ujar Satriwan, dengan bisnis sistem pendidikan ini siswa terbebani secara psikologis, bahkan juga secara ekonomi. Program Bimbel Lulus AN pastinya berbayar, yang harganya tidaklah murah.
Satriwan menjelaskan bahwa praktik bisnis jualan lulus AN juga berpotensi ‘memanipulasi’ publik. Pasalnya, kebijakan Kemendikbud yang sesungguhnya justru tidak menjadikan AN sebagai penentu kelulusan siswa.
“Praktik-praktik bisnis pendidikan seperti di atas harus diberantas dan ditertibkan oleh Kemendikbud. Jika tidak, siswa, guru, dan orangtua akan menjadi korban kembali. Sama seperti UN dulu. Jika Mas Nadiem tak turun langsung menghentikan praktik-ptaktik Jualan Lulus AN seperti ini, maka Mas Nadiem bersikap inkonsisten dengan kebijakannya. Semoga Mas Nadiem membenahi praktik-praktik bisnis pendidikan yang manipulatif tersebut,” harapnya.