Bisnis.com, JAKARTA - Keamanan data dan perdagangan data telah menjadi salah satu faktor utama dalam konflik antara Amerika Serikat dengan China. Berawal dari persaingan dagang berubah secara cepat menuju perang dingin yang baru.
Kekhawatiran mengenai akses data oleh pemerintah China, membuat Amerika serikat memperketat kebijakan pada perusahaan di dalam negeri yang mensuplai Huawei, perusahaan China yang bergerak dalam bidang telekomunikasi.
Hal ini juga berujung kepada negara lain melarang Huwaei dalam jaringan 5G di dalam negara masing-masing dikarenakan risiko terhadap keamanan data.
Pada agustus, Administrasi Trump mengumumkan dikarenakan kekhawatiran pada keamanan dalam negeri, mereka akan melarang jaringan video yang saat ini sedang populer yaitu aplikasi TikTok.
Kebijakan yang sama diterapkan pada WeChat, aplikasi populer yang memperbolehkan penggunanya untuk menjalankan berbagai aktivitas, dimulai dari komunikasi, e-commerce, hingga pembayaran. Alasannya, kedua aplikasi itu dapat mengirimkan data yang dimiliki oleh penduduk Amerika Serikat kepada Pemerintahan China.
Pelarangan kedua aplikasi merupakan bagian dari kebijakan Pemerintah Amerika Serikat yang bernama “Clean Network” sebuah kebijakan yang dimana menurut statement dari US State Department, yang telah ditanda tangani lebih dari 30 negara meskipun belum ada informasi yang pasti mengenai hal tersebut.
Proteksi data sedang meningkat pesat
Pemerintah China sendiri secara ketat mengawasi dan mensensor beberapa hal dalam akses yang dimiliki penduduknya terhadap Dunia Maya di dalam negeri. Dan telah melarang akses terhadap beberapa aplikasi besar yang dimiliki oleh Amerika Serikat seperti Twitter, Facebook, dan Google.
Kebijakan terhadap akses dunia maya yang dibuat oleh Pemerintah China yang dibuat pada tahun 2017 telah meningkatkan kekhawatiran terhadap keamanan data personal, dikarenakan hukum yang mewajibkan perusahaan di dalam negeri untuk menyerahkan data yang dimiliki perusahaan apabila diminta oleh otoritas setempat.
Pembentukan Skema kredit sosial yang berlaku di dalam negeri bertujuan untuk memberikan tiap individu insentif, yang besarannya bergantung pada usaha pengumpulan data. Yang berujung pada meningkatnya kekhawatiran terhadap keamanan data personal di dalam negeri.
Badan Komersil Uni Eropa juga belakangan ini meningkatkan isu dengan Pemerintah China mengenai kerangka keamanan siber secara keseluruhan. Oleh karena itu pengumuman kebijakan yang dilakukan oleh Kementrian Luar Negeri Pemerintah China melalui Menteri Wang Yi mengenai pembentukan standar global mengenai keamanan data sangatlah mengejutkan.
Wang Yi berkata bahwa Pemerintah China menginginkan terdapat kesepakatan perihal multilaterisme pada area tersebut yang pada saat ini dapat dikatakan sangatlah merugikan satu sama lain.
“Kebijakan keamanan data global yang dapat merefleksikan keinginan tiap negara dan menghormati kepentingan semua anggota harus dapat tercapai dengan dasar partisipasi secara universal dari tiap anggotanya” Ujar Wang seperti dikutip dari channelnewsasia.com
Inisiatif yang diusulkan oleh Pemerintah China mengajak negara partisipan untuk menahan diri dari pengamatan skala besar terhadap negara lain maupun mendapatkan informasi secara illegal dari penduduk asing melalui teknologi informasi.
Inisiatif ini juga mengajak para firma teknologi untuk mencegah pembuatan backdoor pada produk dan jasa yang mereka tawarkan yang dapat memberikan akses terhadap pengambilan informasi secara ilegal, serta mengajak para parstisipan untuk menghargai kedaulatan, yuridiksi, dan manajemen data dari negara lain.
Wang Yi juga berkata bahwa Pemerintah China “Tidak akan memaksa perusahaan dalam negeri untuk memberikan data negara lain kepada pemerintah apabaila melanggar hukum negara lain,” hal tersebut melawan argumen besar yang dilontarkan oleh Negara Amerika Serikat maupun Negara lain yang biasa digunakan dalam pelarangan terhadap perusahaan China dalam manajemen data di dalam negara mereka.
Kenapa kita butuh standar Internasional?
Terdapat suatu kebutuhan yang jelas terhadap persetujuan mengenai standar internasional dalam keamanan data. Dikarenakan data telah menjadi salah satu faktor penting dalam kemajuan aktivitas ekonomi yang terus meningkat, dan China telah menjadi pendahulu dalam ekonomi digital, terutama dalam perihal e-commerce dan finansial digital.
Di saat yang bersamaan, terdapat kebutuhan yang meningkat, bahkan di China, untuk proteksi informasi dan data personal.
Dan terdapat juga peningkatan kekhawatiran dari pemerintah mengenai apabila data di tangan yang salah dapat membahayakan keamanan nasional. Bahkan terdapat hal yang lebih rumit yaitu pergerakan data melewati batas negara. Hal ini sangatlah penting dalam perdagangan modern dalam jasa dan inovasi produksi yang bergantung pada informasi yang dimiliki pengguna. Menjaga data hanya dapat diakses secara nasional dan dilokalisasi hanya akan menghalangi perdagangan dan inovasi.
Banyak negara telah mengambil langkah hukum maupun langkah regulasi untuk menjaga keamanan data personal. Dalam perhitungan terakhir, terdapat 140 negara yang telah membuat semacam hukum maupun regulasi dalam keamanan data.
Kesepakatan Bilateral bisa berujung mahal
Ekonomi digital merupakan kegiatan transnasional secara alamiah, dikarenakan pengiriman data dari satu negara ke negara lainnya dapat memaksimalkan potensi dan menurunkan biaya.
Di waktu yang bersamaan, mengirimkan data dari satu negara ke negara lainnya dapat mengurangi proteksi keamanan yang didapatkan oleh subjek data dibawah hukum nasional. Oleh karena itu, rezim proteksi data harus secara normal melibatkan peraturan mengenai transfer data ke negara lain. Peraturan tersebut dapat secara jelas berdampak pada perdagangan.
Regulasi ini dapat digunakan untuk melindungi industri dalam negeri tetapi juga bisa menjadi penghalang mengenai perihal perdagangan internasional dan investasi. Dalam WTO’s General Agreement in Trade in Services (GATS) terdapat beberapa aturan mengenai proteksi data dan pengiriman data, meskipun begitu hal ini secara besar diformulasikan sebelum revolusi digital benar-benar bisa berkembang.
Sebuah perjanjian multilateral baru mengenai keamanan data dan pengiriman data sangatlah dibutuhkan, tetapi melihat kondisi saat ini hal tersebut dapat dianggap sangatlah terkesan jauh untuk tercapai.
Perjanjian dagang bilateral sudah mulai mengisi kekosongan saat ini, contoh dari hal tersebut adalah perjanjian yang dilakukan oleh Singapura dan Australia dalam perjanjian ekonomi digital. Perjanjian tersebut bertujuan untuk mengatur “ Tolak ukur global yang baru mengenai peraturan perdagangan, dan beberapa jajaran inisiatif kerjasama yang praktikal, untuk mengurangi halangan dalam perdagangan digital”
Di dalam waktu yang bersamaan, pendekatan bilateral dalam permasalahan yang lebih kompleks mengenai proteksi data dan pengiriman data beresiko terhadap norma dan standar di berbagai yuridiksi, yang dapat menciptakan ongkos penyesuaian yang tinggi bagi perusahaan, terutama perusahaan kecil dan menengah.
Mendapatkan Dukungan Mungkin akan Sulit
Dalam konteks ini adalah usulan Pemerintah China mengenai standar global dalam keamanan data.
Sebuah standar, apabila telah disetujui oleh kebanyakan negara akan menjadi sebuah petunjuk bagi negara lainnya dalam menciptakan kerangka hukum mereka sendiri dan menjadi rujukan dalam perjanjian bilateral dan multilateral mengenai topik tersebut.
Menteri Wang Yi telah menyiapkan inisiatif tersebut pada pertemuan online G20 seminggu sebelum diumumkan, dikarenakan hal ini bertujuan untuk mencari dukungan terhadap inisiatif tersebut terutama secara khusus dukungan dari anggota G20
Pendekatan multilateral China berencana untuk bertemu secara langsung dengan US’ Clean Network Initiative.
Inisiatif Negara Amerika Serikat terkesan secara besar mensasarkan Negara China “Program The Clean Network merupakan pendekatan komprehensif Administratif Trump untuk melindungi privasi penduduk kita dan informasi paling sensitif dari perusahaan kami dari intrusi agresif oleh aktor perusak seperti Partai Komunis China” sebuah pengumuman oleh US State Department dalam pembacaan inisiatif tersebut.
Agustus Ini, The Internet Society, sebuah grup industri yang terdiri daro anggota Google, COMCAST, AT&T dan Eriksson, secara tajam mengkritisi The Clean Network Initiative.
“Kebijakan seperti ini hanya akan meningkatkan momentum global menuju “Splinternet”- sebuah jaringan yang terfraktur, dibanding Internet yang telah kita buat selama empat decade terakhir yang saat ini kita butuhkan lebih dari apapun” Ujar The Society dalam pernyataan yang mereka tulis di website seperti yang dikutip dari channelnewsasia.com
Ketidakpedulian maupun dukungan yang kecil terhadap Inisiatif dari Pemerintah China sudah bisa diantisipasi pada titik waktu ini. Negara lain belum menyatakan pandangan mereka, tetapi sangat tidak memungkinkan apabila semua anggota G20 akan setuju untuk membahas mengenai Inisiatif Pemerintah Tiongkok di tahap ini.
Meskipun begitu, Inisiatif Pemerintah China dapat memantik negara lain untuk mengembangkan proposal dan prinsip mereka sendiri yang dapat didukung secara luas oleh negara lain. Sehingga negara Superpower lalu dapat menentukan apakah mereka akan mengikuti prinsip tersebut atau tidak pada waktunya.