Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Pilpres AS 2020 : Petuah Megawati dan Realitas Politik Amerika

Ketika mengumumkan kepala daerah usungan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) gelombang V, Rabu (2/9/2020), Megawati membagikan cerita mengenai kondisi terkini orang kulit hitam di Amerika Serikat (AS). Menurut Ketua Umum DPP PDIP tersebut, komunitas keturunan Afrika Amerika belum menikmati persamaan hak sebagaimana warga negara lainnya.
Ketua Umum DPP PDIP Megawati Soekarnoputri dalam dalam acara pengumuman calon kepala daerah dan wakil kepala daerah gelombang kelima melalui telekonferensi, Rabu (2/9/2020).
Ketua Umum DPP PDIP Megawati Soekarnoputri dalam dalam acara pengumuman calon kepala daerah dan wakil kepala daerah gelombang kelima melalui telekonferensi, Rabu (2/9/2020).

Bisnis.com, JAKARTA — Mantan Presiden RI Megawati Soekarnoputri ternyata masih sempat mengikuti perkembangan politik di Amerika Serikat. Berkaca dari Negeri Paman Sam, Indonesia, sekali lagi, patut bersyukur memiliki ideologi Pancasila.

Ketika mengumumkan kepala daerah usungan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) gelombang V, Rabu (2/9/2020), Megawati membagikan cerita mengenai kondisi terkini orang kulit hitam di Amerika Serikat (AS). Menurut Ketua Umum DPP PDIP tersebut, komunitas keturunan Afrika Amerika belum menikmati persamaan hak sebagaimana warga negara lainnya.

Di AS, kata Megawati, orang kulit hitam didatangkan sebagai budak. Kendati perbudakan telah dihapuskan sejak zaman Presiden Abraham Lincoln, relasi antar-ras belum sesuai ekspektasi.

“Untung saya bukan orang Amerika, untung saya punya Pancasila. Sudah selesai urusan kebangsaan,” katanya dalam konferensi yang berlangsung daring itu.

Megawati dan masyarakat dunia barangkali sempat berpikir problematika ras di AS telah selesai sejak Barack Hussein Obama terpilih sebagai presiden. Kendati hanya separuh kulit hitam, kemenangan Obama pada Pilpres 2008 dianggap tonggak penting dalam sejarah negara adidaya tersebut.

Faktanya, isu rasisme di AS kembali menjadi santapan dunia setelah kasus kematian seorang pria kulit hitam bernama George Floyd di tangan polisi kulit putih Kota Minneapolis, Negara Bagian Minnesota, pada 25 Mei 2020. Gelombang protes membanjiri penjuru AS sehingga menjadi tak terelakkan sebagai komoditas politik.

Tak hanya unjuk pendapat, sebagian demonstrasi ternyata berujung anarkis. Oleh pemerintahan Donald Trump, kelompok kiri seperti Antifa atau Black Lives Matter (BLM) dituduh mengotaki dan menggarap kerusuhan.

Sebagian besar demonstrasi memang akhirnya mereda. Presiden Trump mengklaim kesuksesan itu berkat respons cepat pihak keamanan maupun keterlibatan Garda Nasional.

Meski demikian, Kota Seattle di Negara Bagian Washington dan Kota Portland di Negara Bagian Oregon mendapatkan perhatian lebih dari pemerintah federal. Terkhusus Portland, kerusuhan masih saja terjadi atau lebih 100 hari sejak kematian Floyd.

Tak seperti Indonesia, otoritas keamanan di AS dikendalikan oleh pemerintah negara bagian atau kota. Karena itu, Presiden Trump tidak serta-merta dapat mengirimkan aparat Garda Nasional untuk meredam huru-hara. Jika tidak diminta, tindakan terjauh hanya mengamankan aset federal tanpa boleh mengintervensi kawasan lainnya.

Trump lantas menuding ada kepentingan politik di balik keengganan pemerintah lokal meminta sokongan federal. Portland, Seattle, dan kota-kota besar semacam New York, Chicago, Atlanta sejak lama dikendalikan oleh wali kota dari Partai Demokrat.

Sebagai politisi Partai Republik, Trump menuding para wali kota bertindak partisan melampaui kepentingan publik. Apalagi, momentum kerusuhan mencuat mendekati Pilpres AS 2020.

Bukan Trump namanya kalau tidak dapat membalikkan keadaan itu untuk keuntungan dirinya. Kekacauan di berbagai kota kemudian digiring untuk ‘menembak’ musuh politiknya di tingkat nasional, termasuk rivalnya Joe Biden.

Trump terus mengulangi narasi bahwa Biden tidak pernah mengutuk kelompok perusuh. Menurut Trump, gambaran AS jika kelak dipimpin Biden adalah sama dengan kota-kota yang dikuasai oleh Demokrat.

‘Hukum dan ketertiban’ (law and order) menjadi mantra Trump untuk menarik simpati pemilih. Terlebih di mata Trump, mayoritas orang AS mendukung keberadaan polisi alih-alih meniadakan anggaran mereka (defund the police) sebagaimana jargon kubu progresif Demokrat.

RESPONS DEMOKRAT

Sikap Biden dan elite-elite Demokrat merespons fenomena kerusuhan memang tidak seterang musuh politiknya. Kendati mengaku tidak mendukung kekerasan, Biden lebih menyoroti isu rasisme sebagai akar dari berbagai kerusuhan.

Ketika berpidato dalam Konvensi Nasional Demokrat (DNC) sekaligus pengukuhan dirinya sebagai calon presiden, Biden mengatakan bahwa AS masih mengidap ‘rasisme sistemik’. Kondisi itu, menurut Biden, diperparah sikap pribadi Trump yang malu mengakui eksistensi permusuhan rasial.

Retorika-retorika taipan properti itu dianggap memberi angin kelompok supremasi kulit putih. Penolakan Trump terhadap rencana pergantian nama-nama jenderal Konfederasi—kubu penentang penghapusan perbudakan zaman Abraham Lincoln—di instansi militer menjadi contoh lain.

Bertolak belakang dengan Trump, Biden lantas membandingkan dirinya sebagai wakil Barack Obama. Pada Pilpres AS 2020, dia juga memilih perempuan kulit hitam, Senator Kamala Harris, sebagai calon wakil presiden.

Langkah Biden tersebut diprediksi semakin mengikat suara komunitas kulit hitam. Kelompok keturunan Afrika Amerika memang sejak lama menjadi pemilih setia Demokrat, tetapi antusiasme mereka mendatangi bilik suara ditengarai tergantung latar belakang kandidat.

Survei Pew Research Center pada Juli-Agustus 2020 menemukan bahwa sebanyak 89% kalangan pemilih kulit hitam mengarahkan dukungan kepada Biden berbanding 8% yang menjagokan Trump. Jumlah masyarakat kulit hitam menurut sensus adalah 13% dari total populasi AS.

Ketika memenangkan Pilpres 2016, elektabilitas Trump di kalangan pemilih kulit hitam tidak berbeda dari saat ini. Meski demikian, dia kerap membanggakan kebijakan pro-komunitas kulit hitam selama menjabat. Sebagai contoh adalah reformasi peradilan pidana dan angka pengangguran terkecil kalangan keturunan Afrika Amerika sebelum pandemi COVID-19.

“Saya telah melakukan lebih banyak buat komunitas kulit hitam ketimbang presiden AS lain dalam sejarah, mungkin terkecuali Abraham Lincoln” kata Trump dalam sebuah sesi wawancara di Fox News.

BUKAN RASISME

Pembicaraan soal rasisme tidak berhenti dengan sikap berbantah-bantahan Republik dan Demokrat. Kasus serupa George Floyd hampir terjadi di Kota Kenosha, Negara Bagian Wisconsin.

Pada akhir bulan lalu, seorang pria kulit hitam bernama Jacob Blake ditembak polisi setempat. Nyawanya memang masih selamat, tetapi kerusuhan tersulut lagi di Kenosha.

Sejumlah pertokoan dibakar oleh para perusuh. Namun, penjarahan tidak berlangsung berlarut-larut karena pemerintah lokal meminta bantuan Garda Nasional.

Saat berkunjung ke Kenosha, Selasa (1/9/2020) waktu setempat, Trump menyebutkan kerusuhan di daerah itu sebagai teror domestik. Ketika ditanya apakah hal tersebut berpangkal dari rasisme sistemik seperti tudingan Biden, pria kelahiran New York tersebut mengelak. Trump tidak mau menyalahkan polisi.

“Ketika Anda melihat orang-orang memfabrikasi tuduhan, mereka [polisi] harus diinvestigasi sebenar-benar dan seadil-adilnya,” kata Trump dikutip dari Milwaukee Journal Sentinel.

Jika dihubungkan dengan politik, masalah rasisme ternyata bukan perhatian terpenting orang AS saat ini. Masih berdasarkan survei Pew Research Center, hanya 52% pemilih yang menganggap rasisme sebagai isu pokok menjelang Pilpres 2020. Lima isu utama adalah ekonomi 79%, diikuti jaminan kesehatan 68%, penunjukan hakim agung 64%, pandemi virus corona 62%, kriminal bersenjata 59%.

Benar-tidaknya ada rasisme sistemik semakin sulit dinilai mengingat polarisasi AS saat ini. Pendapat bisa berbeda dalam ekosistem head-to-head Demokrat versus Republik, konservatif versus liberal, kelompok kiri versus kanan.

Jika pun benar ada, demokrasi dan kebebasan yang diagung-agungkan AS ternyata belum berhasil menyudahi masalah pokok tersebut. Sebaliknya, Indonesia seperti yang dikatakan mantan Presiden Megawati telah menuntaskan urusan kebangsaannya dengan ideologi pemersatu bernama Pancasila.

Ketua Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) itu tidak membantah bahwa secara kasuistis persoalan primordial masih ada. Namun, menurut dia, pergaulan sesama anak bangsa semakin intens.

“Kalau kita mau ganti lagi Pancasila, saya sampai mikir, apa tidak semakin amburadul ya negara ini?” katanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper