Bisnis.com, JAKARTA - Mahkamah Agung dikabarkan menolak uji materi atas Peraturan Presiden No. 64/2020 tentang Jaminan Kesehatan. Regulasi yang diteken Presiden Joko Widodo pada Selasa (5/5/2020) itu menyesuaikan iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan untuk sejumlah kelas peserta.
Informasi itu diperoleh dari keterangan resmi Ketua Umum Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI) Tony Samosir. Seperti diketahui, hak uji materi terhadap Perpres No. 64/2020 tentang Jaminan Kesehatan itu didaftarkan oleh KPCDI ke Mahkamah Agung pada Rabu (20/5/2020).
Gugatan itu diajukan untuk mengupayakan kepentingan para pasien cuci darah dan masyarakat Indonesia secara umum atas kenaikan iuran BPJS Kesehatan.
Namun, Tony Samosir menyesalkan bahwa MA telah menolak uji materi Perpres 64 Tahun 2020.
"Keputusan itu telah mengukuhkan Perpres tersebut, dan menutup pintu KPCDI untuk mengajukan kembali uji materi atas kebijakan menaikan iuran BPJS Kesehatan yang memberatkan masyarakat kurang mampu," jelasnya dalam keterangan resmi yang diperoleh Bisnis, Selasa (11/8/2020).
Bisnis mencoba menelusuri direktori putusan di laman resmi MA. Namun, hingga sore ini putusan tersebut belum tampak diunggah di website tersebut.
Baca Juga
Berdasarkan catatan Bisnis, KPCDI menilai kenaikan iuran dalam Perpres tersebut tidak menyiratkan empati karena terjadi dalam keadaan yang serba sulit, yakni di tengah pandemi virus corona. Kenaikan itu pun dinilai tidak sesuai dengan apa yang dimaknai dalam Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan Undang-Undang BPJS.
Melalui uji materi tersebut, KPCDI akan menguji apakah kenaikan iuran BPJS Kesehatan tersebut sudah sesuai dengan tingkat perekonomian masyarakat dalam kondisi saat ini. Pemerintah dinilai perlu mempertimbangkan kondisi sosial ekonomi masyarakat saat ini.
Adapun, berdasarkan Perpres No. 64/2020, pemerintah mengatur iuran BPJS Kesehatan untuk peserta mandiri kelas III menjadi sebesar Rp42.000, tetapi pada Juli 2020 peserta Kelas III cukup membayar Rp25.500 karena terdapat subsidi Rp16.500.
Setelah itu, mulai Januari 2021 peserta harus membayar Rp35.000 karena subsidi berkurang menjadi Rp7.000.
Iuran peserta Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) atau mandiri kelas II naik dari Rp51.000 menjadi Rp100.000. Iuran kelas teratas atau kelas I naik dari Rp80.000 menjadi Rp150.000.
Besaran itu tidak jauh berbeda dari kenaikan iuran yang ditetapkan sebelumnya dalam Perpres 75/2019, yakni kelas III sebesar Rp42.000, kelas II Rp110.000, dan kelas I Rp160.000. Kebijakan itu seharusnya berlaku sejak 1 Januari 2020, namun kemudian dibatalkan oleh MA.
Pasalnya, Perpres 75/2019 ini sempat menuai protes panjang dari sejumlah kelompok masyarakat, termasuk dari KPCDI. Komunitas ini kemudian mengajukan hak uji materil terhadap Pasal 34, Ayat 1 dan 2, Perpres 75/2019, pada akhir 2019.
Alhasil, pembatalan kenaikan tarif iuran dilakukan oleh MA dengan mengabulkan permohonan KPCDI atas Perpres No. 75/2019 tersebut. Hal itu termuat dalam putusan MA No. 7/HUM/2020.
"MA menyatakan Pasal 34 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 75 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan, bertentangan dengan ketentuan perundang-undangan yang lebih tinggi yaitu Pasal 2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional dan Pasal 2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial," demikian bunyi putusan tersebut.