Bisnis.com, JAKARTA – Pertikaian antara Amerika Serikat dan China meluas dari isu perdagangan ke bidang-bidang baru seperti aplikasi TikTok dan status Hong Kong sebagai pusat keuangan global.
Ketegangan terkini yang tampak antara dua ekonomi terbesar dunia itu membayangi perjanjian perdagangan yang dibuat pada Januari 2020.
Friksi antara kedua negara justru semakin dalam di saat ekonomi dunia menghadapi krisis terburuk sejak masa Great Depression.
Pekan ini Presiden Donald Trump mengungkapkan sedang mempertimbangkan untuk melarang aplikasi video pendek TikTok besutan perusahaan China ByteDance Ltd. Tindakan tersebut diklaim sebagai pembalasan atas penanganan Negeri Tirai Bambu terhadap Covid-19.
Beberapa penasihat utama Trump kemudian dikabarkan mengusulkan langkah destabilisasi pasak mata uang Hong Kong sebagai cara untuk menghukum China yang dipandang telah mengoyak kebebasan di wilayah itu dengan Undang-Undang Keamanan Nasional.
Ada pula kekhawatiran tentang status visa ratusan ribu siswa China yang mendaftar di perguruan tinggi dan universitas AS setiap tahun.
Di lain pihak, China telah memperingatkan AS dan negara lainnya untuk berhenti mencampuri urusan Hong Kong berikut isu-isu lain.
“Zaman Es dalam hubungan [antar negara] akan bertahan. Ini akan menjadi jauh lebih dingin sebelum mengalami pencairan,” kata Direktur pelaksana di perusahaan riset Asia Analytica Pauline Loong, dilansir dari Bloomberg.
Sementara itu, kondisi ekonomi global tampak payah. Dana Moneter Internasional (IMF) memperkirakan pada akhir tahun ini pendapatan per kapita 170 negara, hampir 90 persen dari jumlah negara di dunia, akan lebih rendah.
Perkiraan itu berbanding terbalik dari Januari, ketika 160 negara diperkirakan akan mengakhiri tahun ini dengan pertumbuhan pendapatan per kapita yang positif.
“Meningkatnya ketegangan berarti hambatan baru untuk perdagangan, modal, dan arus masyarakat akan menambah tekanan pada pertumbuhan, Persoalan ini akan bertahan tidak peduli siapa yang memenangkan pemilihan presiden [AS] November mendatang,” jelas Ekonom Bloomberg.
Perpecahan yang semakin dalam juga memerangkap bisnis global dalam keputusan sulit. Perusahaan teknologi top AS seperti Facebook, Google, dan Twitter diblokir di China dan berisiko mengalami nasib yang sama di Hong Kong.
Ketiganya bersama dengan Microsoft Corp dan Zoom Video Communications Inc. akhirnya memutuskan untuk menyetop permintaan data dari pemerintah Hong Kong. Hingga kini, masih belum jelas bagaimana pihak otoritas akan merespons keputusan itu.
Diperkirakan, ancaman demi ancaman hanya akan bereskalasi menjelang ajang pilpres AS pada November, dengan sedikit prospek pemulihan jangka pendek.
“Saya tidak melihat ada pemutus arus langsung. Saya tidak melihat itu akan muncul dalam waktu dekat,” ujar Penulis "Red Capitalism: The Fragile Financial Foundation of the China's Extraordinary Rise” Fraser Howie.
Kendati para ekonom berpendapat sangat kecil kemungkinan AS akan menindaklanjuti ancaman terhadap dolar Hong Kong, mengingat risiko yang bisa muncul pada bank-bank dan perusahaan-perusahaan AS, wacana mengenai langkah macam ini sudah meresahkan.
“Ini adalah opsi nuklir, yang dapat mengakibatkan krisis keuangan bagi Hong Kong, serta kerusakan jaminan yang cukup besar bagi bank dan investor AS. Bukan tidak mungkin, tetapi kami pikir ini sangat kecil kemungkinan akan terjadi,” kata Kepala ekonom di Daiwa Capital Markets Kevin Lai.