Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Menteri LHK: Presiden Setuju Pengaturan Nilai Ekonomi Karbon

Pada rapat terbatas kabinet, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya Bakar melaporkan kepada Presiden Joko Widodo terkait kepentingan pemerintah mengatur masalah nilai ekonomi karbon (NEK) atau carbon pricing dengan sebuah kebijakan resmi.
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya mengikuti Rapat Kerja dengan Komisi IV DPR di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu (24/6/2020). Rapat tersebut membahas RKA K/L dan RKP K/L Tahun 2021 serta evaluasi pelaksanaan APBN 2019 Kementerian LHK. ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya mengikuti Rapat Kerja dengan Komisi IV DPR di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu (24/6/2020). Rapat tersebut membahas RKA K/L dan RKP K/L Tahun 2021 serta evaluasi pelaksanaan APBN 2019 Kementerian LHK. ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari

Bisnis.com, JAKARTA – Pada rapat terbatas kabinet, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya Bakar melaporkan kepada Presiden Joko Widodo terkait kepentingan pemerintah mengatur masalah nilai ekonomi karbon (NEK) atau carbon pricing dengan sebuah kebijakan resmi.

Kebijakan pemerintah dalam pengaturan NEK ini akan mendukung upaya penanggulangan perubahan iklim yang sedang dilakukan Indonesia bersama masyarakat dunia.

Indonesia telah berkomitmen untuk menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 26% pada 2020 dan 29% pada 2030, yang kemudian ditingkatkan seusai ratifikasi Indonesia atas perjanjian Paris (Paris Agreement) pada 2015 menjadi 29% pada 2030 dan 41% dengan dukungan kerja sama internasional, termasuk dengan skema Reduction Emission Deforestation and Degradation (REDD+).

Komitmen tersebut telah dicatatkan sebagai National Determination Contribution (NDC) Indonesia kepada dunia.

Kebijakan pengaturan instrumen NEK akan menjadi landasan legal yang kuat dalam rangka mencapai target NDC Indonesia serta  untuk mendukung pembangunan rendah karbon.

“Dalam Ratas tadi saya laporkan kepada Bapak Presiden terkait perkembangan kerja sama Indonesia-Norwegia dalam menurunkan emisi karbon, serta pentingnya Indonesia memiliki aturan pemerintah yang mengatur tentang nilai ekonomi karbon,” ujar Siti dalam keterangan pers, Senin (6/7/2020).

Menurut Siti, potensi karbon Indonesia sangatlah besar. Potensi tersebut jika dibarengi dengan ketersediaan landasan legal Indonesia menetapkan NEK, maka akan dapat dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Kebijakan pengaturan NEK ini diusulkan berbentuk Perpres yang memuat pengaturan penyelenggaraan NEK, termasuk mekanisme perdagangan karbon (cap and trade dan carbon offset), result based payment (RBP), dan pajak atas karbon, serta upaya pencapaian target NDC (mitigasi dan adaptasi) yang terkait dengan penyelenggaraan nilai ekonomi karbon dan pembentukan instrumen pengendalian dan pengawasan (MRV, SRN, Sertifikasi).

Jika Perpres ini telah disetujui, maka KLHK akan mampu menyusun roadmap ekonomi karbon untuk jangka panjang.

Sebagai gambaran, Siti menjelaskan saat ini luas tutupan hutan daratan Indonesia mencapai 94,1 juta hektare, dengan luas tutupan dominan di Sumatra sebesar 13,5 juta hektare, Kalimantan sebesar 26,7 juta hektare, dan Papua sebesar 34 juta hektare.

Kawasan hidrologis gambut Indonesia pun sangat luas, yaitu di Sumatra dan Riau seluas berturut-turut 9,60 juta hektare dan 5,36 juta hektare, di Kalimantan dan Kalteng berturut-turut seluas 8,4 juta hektare dan 4,68 juta hektare.

Kemudian untuk mangrove, Indonesia pun punya potensi sangat besar, seperti di Sumatra luas mangrove 666,4 ribu hektare, Kalimantan seluas 735,8 ribu hektare, Jawa seluas 35,9 ribu hektare, Sulawesi seluas 118,8 ribu hektare, Maluku seluas 221,5 ribu hektare, Papua seluas 1,49 juta hektare, dan Bali Nusa Tenggara seluas 34,7 ribu hektare.

Dengan perhitungan rata-rata kandungan karbon dari hutan (dari aboveground biomass) sebesar 200 ton C/ha dan rata-rata kandungan karbon dari mangrove (termasuk soil karbon) adalah 1.082,6 ton C/ha, serta rata-rata karbon gambut 460 ton C/ ha, dan hutan gambut primer mencapai 1385,2 ton C/ha, maka jika hutan Indonesia ini dikelola dengan baik dan dicegah dari kerusakan akan didapat nilai ekonomi yang sangat besar.

“Dengan adanya landasan peraturan tentang NEK, potensi ini akan dihitung nilai ekonomi karbonnya,” tuturnya.

Diakui Dunia

Sebagai perbandingan, Siti menyebut keberhasilan Indonesia menekan laju deforestasi dan degradasi hutan pada 2016/2017 di bawah komando pemerintahan Presiden Joko Widodo, telah diakui dunia menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) Indonesia.

Atas keberhasilan tersebut, Pemerintah Indonesia untuk pertama kalinya akan menerima pembayaran hasil kerja (RBP) penurunan emisi GRK dari Norwegia sebesar proyeksi US$56 juta atau lebih dari Rp840 miliar, yang merupakan bagian dari komitmen kerja sama pendanaan iklim melalui komitmen nota kesepakatan (letter of intent/LOI) pada 2010.

“Setelah pembayaran RBP pertama tersebut, akan dilaksanakan pembayaran karbon untuk RBP berikutnya atas prestasi kerja tahun 2017/2018 dan seterusnya, yang akan diserahkan Norwegia kepada Indonesia melalui Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH),” ujar Siti.

Pada kesempatan itu juga, Siti melaporkan bahwa penanganan deforestasi  harus dilakukan dengan menyesuaikan kondisi Indonesia, dan perlindungan sasaran pembangunan nasional Indonesia. Adapun metode yang dipakai harus didasarkan pada SNI yang telah ada, dengan mengakomodasikan berbagai kepentingan nasional.

Presiden meminta agar Indonesia harus terus konsisten menjalankan program pemulihan lingkungan untuk menurunkan gas rumah kaca, kemudian juga perlindungan gambut dan percepatan rehabilitasi hutan dan lahan serta perlindungan biodiversity yang sudah melekat sebagai upaya perlindungan hutan dan pemulihan habitat harus dipastikan betul-betul jalan di lapangan.

Presiden juga menekankan agar kejadian kebakaran hutan dan lahan (karhutla) harus diantisipasi sebaik mungkin dengan kerja sama yang baik semua pihak.

Seusai rapat terbatas, Siti langsung melakukan rapat internal bersama wamen dan jajaran eselon 1 dan 2 terkait lingkup KLHK, untuk menindaklanjuti arahan Presiden Jokowi.

Beberapa hal penting yang disampaikan Siti antara lain tahapan sistematis penyelesaian regulasi nilai ekonomi karbon, pembangunan pembibitan mangrove modern dengan kapasitas jutaan bibit, percepatan program TORA dan perhutanan sosial, dan publikasi rinci program pengembangan pangan nasional di areal eks PLG Kalimantan Tengah.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Herdiyan
Editor : Herdiyan
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper