Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Akademisi: Pilkada Desember 2020 Tabrak Tiga Teori

Tiga teori ini memperkuat alasan mengapa Pilkada Desember 2020 seharusnya ditunda hingga kondisi pandemi Covid-19 reda.
Tenaga relawan menunjukkan surat suara pilkada Wali Kota dan Wakil Wali Kota Makassar yang telah disortir, di kantor KPU Makassar, Sulawesi Selatan, Rabu (13/6)/Antara
Tenaga relawan menunjukkan surat suara pilkada Wali Kota dan Wakil Wali Kota Makassar yang telah disortir, di kantor KPU Makassar, Sulawesi Selatan, Rabu (13/6)/Antara

Bisnis.com, JAKARTA - Kalangan akademisi mengkritik pemungutan suara Pilkada 2020 pada 9 Desember karena tidak sesuai dengan paradigma pesta demokrasi yang selama ini berlaku di Tanah Air.

Pilkada 2020 seharusnya digelar pada 23 September 2020, tetapi digeser ke tanggal 9 Desember 2020 menyusul status pandemi Covid-19. Penundaan itu dituangkan dalam Perppu No. 2/2020 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota (Perppu Pilkada).

“Keputusan untuk ambil [pencoblosan] 9 Desember itu menabrak tiga teori,” kata Dosen Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) Djohermansyah Djohan dalam acara diskusi Perspektif Indonesia: Pilkada Langsung Tetap Berlangsung di Jakarta, Sabtu (13/6/2020).

Teori pertama, pemilihan tidak boleh berlangsung dalam kondisi bencana. Saat ini, kata Djohermansyah, pandemi Covid-19 berstatus bencana nasional nonalam sebagaimana telah ditetapkan dalam keputusan presiden.

Teori kedua, pemilihan tidak digelar jika para pihak terancam keselamatannya. Djohermansyah meragukan ketersediaan logistik protokol kesehatan dapat disediakan oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) untuk 300.000 tempat pemungutan suara (TPS).

Teori terakhir, pemilihan bukan mekanisme satu-satunya untuk mengisi kepala daerah yang habis masa jabatannya. Pasalnya, pemerintah bisa menunjuk penjabat hingga kepala daerah definitif terpilih.

“Pakem selama ini, itu bisa diangkat penjabat sehingga pemerintahan berjalan,” kata Djohermansyah.

Menanggapi kritik tersebut, Ketua Komisi II DPR Ahmad Doli Kurnia Tandjung mengatakan bahwa penetapan pencoblosan Desember tidak mudah. DPR, kata dia, perlu menggelar enam kali rapat kerja dengan penyelenggara pemilu dan pemerintah agar mendapatkan waktu ideal pergeseran pemungutan suara Pilkada 2020.

Selain Desember, opsi lainnya adalah Maret 2021 dan September 2021.

Namun, kata Doli, dua opsi terakhir tidak dipilih karena sama saja mengadakan pemilihan baru.

Politikus Partai Golkar ini mengingatkan bahwa lima tahapan Pilkada 2020 telah bergulir. Jika dua opsi terakhir dipilih maka pemakaian dana dipastikan hangus.

Pilkada di Indonesia memakai dana APBD yang ditransfer ke penyelenggara pemilu dalam bentuk naskah perjanjian hibah daerah (NPHD). Menurut Doli, kepala daerah tidak bisa memastikan apakah mampu menyediakan anggaran bila Pilkada 2020 digeser ke 2021.

“Kalau ditunda lagi, katakanlah tahun depan, bisa jadi lebih buruk dari sisi ekonomi,” ujar Doli.

Pilkada 2020 diselenggarakan secara serentak di 270 daerah. Sebanyak sembilan provinsi menggelar pemilihan gubernur, 224 kabupaten melaksanakan pemilihan bupati, dan 37 kota menghelat pemilihan wali kota.

 


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper