Bisnis.com, JAKARTA - Tingkat pengangguran di Amerika Serikat terus meningkat, padahal sekitar sepertiga tunjangan pengangguran belum dibayarkan pemerintah.
Alhasil, kenaikan jumlah pengangguran dapat memicu risiko krisis menjadi lebih panjang. Ekonom memperkirakan setidaknya 1,8 juta orang kehilangan pekerjaan selama pekan lalu.
Angka pengangguran Mei yang akan dirilis Jumat pekan ini diperkirakan sebesar 19,5 persen, tertinggi sejak Depresi Hebat 1930-an.
Tunjangan senilai US$1.200 per minggu per orang dari pemerintah federal telah membantu banyak keluarga membayar sewa atau tagihan makanan awal. Namun, jutaan warga AS yang menganggur karena terdampak pandemi belum menerima tunjangan itu.
Sejauh ini, Departemen Keuangan telah mencairkan tunjangan pengangguran senilai US$146 miliar dalam tiga bulan hingga Mei. Angka itu melebihi angka yang dikeluarkan pemerintah sepanjang 2009 ketika pengangguran memuncak karena krisis keuangan global.
Dilansir Bloomberg, Rabu (3/6/2020), dihitung dari pencatatan pengangguran mingguan, angka tersebut belum memenuhi total anggaran yang seharusnya digelontorkan senilai US$214 miliar untuk periode tersebut.
Baca Juga
Kesenjangan sekitar US$67 miliar itu menunjukkan upaya darurat belum mampu menutup kebutuhan krisis pekerjaan dengan lebih dari 40 juta kehilangan pekerjaan ketika ekonomi terhenti.
"Ada lubang besar [pada anggaran tunjangan ini]. Ada lebih banyak uang yang seharusnya keluar," kata Jay Shambaugh, seorang ekonom di Brookings Institution yang telah melacak pembayaran pengangguran.
Secara nasional, para ekonom memperkirakan ekonomi akan kembali menciptakan lapangan kerja di paruh kedua tahun ini ketika negara-negara mulai melonggarkan pembatasan pergerakan. Menurut Shambaugh di Brookings, anggaran untuk tunjangan pengangguran kemungkinan akan memuncak pada Mei atau Juni 2020.
Sementara itu, di parlemen, partai Republik dan Demokrat mulai berdebat apakah akan memperpanjang sebagian pembayaran tunjangan pengangguran tambahan setelah batas akhir pada Juli 2020.
Di sisi lain, pemilik bisnis mengeluhkan bahwa manfaat tunjangan yang rata-rata setara dengan gaji tahunan sebesar lebih dari US$50.000, menghambat karyawan untuk kembali bekerja. Namun, menghapus tunjangan itu bisa memicu krisis baru bagi jutaan keluarga dan memperlambat pemulihan ekonomi.
Diane Swonk, kepala ekonom di Grant Thornton LLP, mengatakan bahwa jika tunjangan tidak diperpanjang, ada risiko krisis akan berlanjut. Namun, dia khawatir bahwa Kongres yang sebelumnya telah menyetujui stimulus senilai sekitar US$2,2 triliun selama pandemi, akan keberatan jika harus kembali membebani keuangan negara.
"Kami benar-benar berbicara tentang ekonomi yang akan beroperasi di sebagian kecil dari kapasitasnya untuk jangka waktu yang lama," katanya.
Ketika kesenjangan antara anggaran dan kebutuhan itu menjadi jelas, gelombang demonstrasi antirasisme terjadi di seluruh negeri. Perdebatan tentang bagaimana dan kapan bisnis dapat kembali dibuka juga berubah menjadi semakin sengit.
Ketika pandemi melanda, pembuat kebijakan merespons dengan tunjangan pengangguran senilai US$600 per minggu. Tujuannya adalah untuk menghentikan penyebaran virus dengan mendorong pekerja yang diberhentikan untuk tinggal di rumah, dan meredam dampak ekonomi dengan mengganti pendapatan yang hilang.
Namun, banyak orang belum menerima pembayaran tunjangan itu. Salah satunya Bob Radcliffe, warga New Jersey, kehilangan pekerjaan menjual display layar sentuh ke pengecer sejak awal Maret.
Dia mengajukan tunjangan pengangguran dan berharap untuk mendapatkan pembayaran maksimum sekitar US$1.300 seminggu. Dengan perhitungan itu, dia seharusnya sudah menerima US$15.000.
Sementara itu, jutaan pekerja di seluruh negeri masih menunggu untuk diproses oleh sistem yang kelebihan beban.
Sebanyak 7,8 juta orang telah dilindungi oleh program Pandemic Unemployment Assistance. Angka 7,8 juta itu juga tidak lengkap karena tidak semua negara melaporkan berapa banyak penduduk mereka yang mengajukan klaim.
Di Texas, lebih dari 2,6 juta klaim untuk tunjangan pengangguran telah diajukan sejak Maret. Tumpukan berkas masih menunggu untuk diverifikasi pada akhir pekan lalu mencapai hampir 650.000.
Negara bagian itu telah memperluas call center dan mempekerjakan kembali pekerja lain untuk membantu menangani klaim. Namun, perhatian juga telah bergeser ke tugas-tugas lain seperti membuka kembali ekonomi dan membantu orang menemukan pekerjaan.
Satu dari lima pekerja di industri minyak dan gas negara, misalnya, telah mengajukan status pengangguran. Jesse Thompson, seorang ekonom bisnis senior di cabang Houston dari Federal Reserve Bank of Dallas berpendapat, pekerjaan-pekerjaan itu mungkin akan kembali pada akhirnya, tetapi mungkin diperlukan hingga awal 2022 untuk bangkit dari kelebihan pasokan minyak sementara ekonomi masih belum pulih.
"Ini akan menjadi pemulihan yang berlarut-larut," katanya.
Sementara itu, di tingkat pemerintah lokal, sistem komputasi yang sudah tua menghambat penyaluran pembayaran tunjangan. Kesalahan kecil saja dapat menahan klaim selama berminggu-minggu.
Penundaan juga menunjukkan perbedaan dalam skala krisis pengangguran di AS versus ekonomi maju di Eropa dan kawasan lain dengan jaring pengaman yang lebih kuat.
"Di atas kertas, strategi AS sangat murah hati. Namun kedermawanan itu di atas kertas tidak ada artinya jika itu tidak diterjemahkan menjadi uang di kantong orang-orang yang membutuhkan," kata Ernie Tedeschi, mantan ekonom Kementerian Keuangan AS yang sekarang menjabat di Evercore ISI.