Bisnis.com, JAKARTA -- Pasien dan penyintas Covid-19 sejak munculnya kasus perdana di Indonesia sampai saat ini masih harus menghadapi stigma negatif dari masyarakat yang belum menyadari pentingnya etika kepedulian dan empati.
Tak mudah menjadi pasien awal yang terinfeksi Covid-19. Kesimpangsiuran informasi dari petugas medis kepada pasien, terbukanya identitas keluarga, serta cercaan yang tidak benar di media sosial memberi luka mendalam bagi pasien.
Belajar dari kesalahan itu, kini kesadaran pentingnya etika kepedulian dan empati mulai digaungkan terutama dalam berkomunikasi dengan pasien dan penyintas Covid-19.
Begitulah ungkapan hati Ratri Anindyajati, Pasien Covid-19 nomor 3. Ratri yang sudah dinyatakan sembuh bersama adiknya Sita Tyasutami, dan ibunya, Maria Darmaningsih, masih tak bisa melupakan masa-masa berat tatkala disinformasi perihal Covid-19 melukai dia dan keluarga.
“Waktu itu kami banyak diwawancara, meski banyak narasi yang positif banyak juga yang disinformasi, bahkan menghina kami, saking marahnya kami, itu sempat membuat Sita dan ibu saya stres,” ujar Ratri via Zoom dalam acara Ruang Perempuan, beberapa waktu yang lalu.
Ratri belum melupakan hinaan di media sosial dengan kata-kata kasar bagi keluarganya.
Ratri juga menyayangkan sejumlah media massa mainstream yang saat itu melontarkan pertanyaan tak etis kepada pasien. Sejumlah pertanyaan itu dinilai Ratri bisa memicu disinformasi kepada publik, pada sisi lain juga menyudutkan pasien.
“Saya sampai berpikir, media ini apakah tidak punya etika, dalam melaksanakan tugasnya. Etika jurnalisme beberapa ada yang parah juga,” ungkap Ratri yang merupakan produser seni.
Dia mengenang, saat itu memang ada beberapa pertanyaan yang dilontarkan menyinggung misalnya berkaitan dengan aktivitas keluarga, informasi pribadi pasien, dan pertanyaan yang tendesius kepada Sita dan ibunya yang merupakan seorang penari sehingga kerap berjumpa dan berinteraksi dengan banyak orang.
Ratri menyebut hal itu membuat profesi sebagai seniman dikait-kaitkan sebagai tulah terjangkit Covid-19. Hinaan dan tudingan negatif diterima Ratri, Sita, dan ibunda hingga mengoyak hati mereka. Bahkan, ujaran kebencian tak berhenti sesudah mereka sembuh. Sebaliknya kejahatan jempol warganet masih beberapa kali menyudutkan mereka di media sosial.
"Ada loh yang saat itu sebut kami sebagai pelacur segala macem," kata Ratri.
Dia menilai, ada banyak cara masyarakat merespon Covid-19 dengan stigma negatif dan hanya terjadi di Indonesia. Maklum saja, Ratri yang juga tinggal di Amerika Serikat ini menyebut dia menerima banyak cerita dari keluarga yang tinggal di Eropa bahwa perilaku media dan publik terhadap penyintas Covid-19 tidak negatif.
Menurut Ratri etika kepedulian dan empati pada pasien sangat penting saat ini seiring dengan peningkatan jumlah kasus Covid-19 yang kini tembus 16.000 per 15 Mei 2020. Pentingnya empati dan mengubah stigma negatif pada penyintas sangat penting pula untuk menjamin kesehatan mental pasien selama pandemi.
Menurut Co-Founder Ibunda.id, layanan psikolog online, Lady Noor Chita, perasaan sedih, marah, emosi negatif dari para penyintas Covid-19 sangat wajar dialami. Oleh sebab itu, penting bagi lingkungan terdekat untuk memperhatikan cara pasien dan penyintas Covid-19 menghadapi stres apalagi dengan terpaan informasi yang sangat banyak dan belum semua terverifikasi kebenarannya.
“Ketika kita tak bisa meng-handle stres secara sehat umumnya ada kecemasan, dan memicu emosi. Maka psikolog harus hadir untuk menjaga mental pasien dna penyintas dalam batasan wajar,” sambungnya.
Dia pun menegaskan selain masyarakat harus mulai menerapkan etika kepedulian dan empati bagi pasien, tenaga medis juga perlu memberikan pendampingan psikis bagi pasien dan penyintas Covid-19.
“Harus ada pendampingan psikologis yang diberikan pasien saat ada proses pengobatan di RS. Jangan sampai tidak ada penanganan lanjutan hanya karena dinyatakan sudah negatif,” tuturnya.
Dia menambahkan pentingnya konseling lanjutan bagi penyintas dan keluarga terkait untuk meminimalisir dampak psikis. Hal ini juga selaras dengan anjuran World Health Organization (WHO) terkait antisipasi dan sikap atas pandemi ini.
“Awalnya tidak terlihat ada bantuan psikolog mengatasi kondisi kami, namun akhirnya ada juga psikolog yang mendampingi kami selama penyembuhan dan pascakarantina di RS,” kata Ratri.