Bisnis.com, JOGJA - Selasa (21/4/2020) siang jadi hari yang cukup rumit bagi para sukarelawan Posko Dukungan Operasional Gugus Tugas Penanggulangan Covid-19 Pemda DIY di markas Tim Reaksi Cepat (TRC) BPBD DIY. Walkie talkie digital dengan layar sentuh tak henti-hentinya berbunyi, menandakan ada pesan-pesan masuk yang harus segera dijawab.
Beberapa sukarelawan yang sedang menyeduh kopi mengambil jeda, beberapa lainnya sampai lupa menyeruput kopi hangat dari gelas kertas mereka. Saat itu juga perhatian langsung tertuju pada sosok Endro Sambodo yang menjawab sinyal radio kedaruratan itu.
Suara dari walkie talkie itu tak begitu jelas, terganggu oleh bisingnya suara mesin truk pengangkut logistik yang memasuki garasi posko. Setelah mendengarkan beberapa kalimat dari alat yang digenggamnya, raut wajah Endro langsung berubah menjadi serius. Beberapa orang menghela napas, seakan-akan mereka sudah hafal kabar buruk macam apa yang akan mereka dengar.
“Ada jenazah pasien di Bantul yang dirujuk ke Rumah Sakit Bhayangkara untuk masuk ke bagian forensik. Isih ra ngerti statuse opo [positif atau negatif Covid-19]. Ini termasuk jenazah telantar, keluarganya katanya asal Riau tapi sampai sekarang rumah sakit enggak bisa tracing keluarganya,” kata Endro kepada para sukarelawan yang ada di sekelilingnya, seperi dilaporkan Harianjogja.com, Rabu (22/4/2020).
Agus Riyanto yang menjadi Safety Officer di posko yang terletak di BPBD DIY itu mengambil alih saluran radio kedaruratan dan segera berkoordinasi dengan relawan di Sleman. Jari-jarinya langsung sibuk memencet nomor di telepon kabel berwarna abu-abu yang terletak di meja makan para sukarelawan.
Sambil menunggu panggilan teleponnya tersambung, Agus menghela napas. Dia mulai bertutur, sejak sebulan lalu, mereka sudah menangani sekitar 30 kasus penjemputan jenazah baik itu jenazah positif Covid-19, PDP maupun ODP. Jadi, paling tidak ada dua penjemputan jenazah yang harus mereka layani dalam satu hari.
“Kami stand by [24 jam] itu kan sudah 39 hari. Jadi sehari rata-rata kami bisa jemput dua jenazah dari rumah sakit. Ya cukup sering juga. Itu termasuk kejadian khusus ya, termasuk yang kemarin meninggal di Titik Nol dan tidak ada warga yang berani men…” kalimat Agus terputus.
Suara di gagang telepon yang dia genggam mulai terdengar samar-samar. Dia langsung sibuk berkoordinasi dengan relawan di Sleman terkait proses penjemputan jenazah.
Di sela-sela proses koordinasi itu, Endro giliran bertutur betapa rumitnya proses pemakaman jenazah di tengah pandemi Covid-19. Dalam sepekan ini, sudah dua kali Endro mendapat giliran mengantar jenazah. Dia selalu teringat sirene ambulans yang meraung-raung untuk mengurai kepadatan kendaraan di jalan. Menurutnya, semakin hari jalanan di DIY bukannya semakin lengang, tapi justru mulai macet lagi seakan pandemi Covid-19 telah berakhir.
Empat Jam
Padahal perjalanan sukarelawan dari rumah sakit tempat jenazah dirawat hingga menuju ke permakaman selalu terasa mendebarkan bagi Endro. Dia dan lima sukarelawan lain yang ada di dalam ambulans berpacu dengan waktu. Demi menghindari risiko penyebaran, sepanjang proses itu, mereka tak boleh mengambil jeda barang hanya beberapa menit. Terlambat sedikit, bisa jadi berisiko bagi keselamatan.
“Di dalam protap [prosedur tetap], jenazah sudah harus dimakamkan maksimal empat jam setelah diberi penanganan. Maka dari itu kami baru bisa gerak ketika jenazah, tanah pemakaman dan liang lahat sudah siap. Supaya prosesnya tidak ada jeda,” kata pria yang menjabat sebagai operasional posko pendukung ini.
Namun kenyataan sering tak sesuai perencanaan. Di lapangan, sukarelawan harus berhadapan dengan keluarga jenazah yang masih menjunjung tinggi tradisi menguburkan anggota keluarga di kota asalnya. Ingatan Endro melayang ke beberapa hari silam, saat dia menjadi tim penjemput jenazah positif Covid-19 asal Wonogiri.
Para sukarelawan sudah bernegosiasi dengan keluarga agar jenazah dimakamkan di tanah rantaunya, yaitu di Kota Jogja. Ternyata anggota keluarga tetap bersikukuh membawa pulang jenazah ke Wonogiri. Semua sukarelawan telah putus asa meyakinkan pihak keluarga, akhirnya cara lain pun ditempuh atas nama kemanusiaan.
Sukarelawan dari Kota Jogja mengantar jenazah sampai ke perbatasan Wonosari. Kemudian layaknya estafet, sesampainya di Wonosari, jenazah dipindahkan ke mobil teman-teman relawan asal Wonosari. Mereka kemudian membawa jenazah ke pemakaman yang ada di perbatasan Gunungkidul - Wonogiri. Setiap mobil berjalan, harus didampingi satu armada cadangan untuk antisipasi ban bocor atau kecelakaan.
Siang itu terasa amat panjang bagi Endro dan kawan relawan lainnya. Baju hazmat yang seharusnya hanya boleh dikenakan selama 1,5 jam, harus dipakai mereka selama lebih dari 4 jam. Endro merasakan sendiri sekujur tubuhnya yang terbalut baju hazmat itu bermandikan keringat. Bergerak kesana kemari juga membuat napasnya di balik masker berfilter menjadi pendek-pendek. Endro kerap merasakan oksigen menipis dan paru-parunya mulai sesak.
“Dan di kasus lainnya, proses terberat ada pada saat kami harus membawa jenazah. Kan tidak boleh dipanggul karena akan mendekatkan jenazah dengan pernapasan kami. Jarak dari ambulans dengan tanah permakaman terkadang bisa 50 meter sendiri. Kami jalan kaki. Itu kalau siang capek juga, panas luar biasa bikin dehidrasi,” kata Endro.
Sukarelawan juga menurunkan jenazah ke liang lahat dan menimbun liang dengan tanah hingga batas tertentu yang dapat dikatakan aman. Setelah itu, mereka menyerahkan proses pemakaman kepada warga dan keluarga. Terkadang dalam proses itu, ada warga yang menolak melanjutkan proses pemakaman karena takut tertular. Liang lahat dibiarkan tertutup tidak sempurna.
“Kalau sudah gitu biasanya kami langsung saat itu juga ambil jeda lagi, kami kasih pengertian ke warga kalau itu sudah aman, sudah tidak apa-apa. Kami pakai hazmat bukan karena bahaya di permakaman, tetapi pas di rumah sakit kan banyak risikonya,” kata Agus.
Komunikasi
Selain keluarga yang ngotot membawa pulang jenazah ke kota asalnya, ruwetnya komunikasi internal di dalam keluarga juga kerap memberi para relawan ini ujian. Beberapa pekan lalu, dia harus memakamkan jenazah yang dinyatakan positif Covid-19. Keluarga yang ditinggalkan berasal dari Malang.
Rupanya almarhum memiliki banyak anak. Setelah diberi waktu berdiskusi, akhirnya mereka setuju ayahnya dikuburkan saja di DIY. Kejutan datang ketika jenazah sudah dimakamkan. Ternyata ada beberapa anak lainnya yang tidak setuju dengan keputusan itu.
“Terus bilang, ‘kalau kuburannya kami bongkar lagi terus jenazahnya kami bawa ke Malang gimana?’ Waduh! Saya tidak mau teman-teman kena risiko, saya bilang ‘Ya sana kalau mau, bongkar sendiri!’” kata Agus sambil geleng-geleng kepala.
Menanggapi kisah Agus, Endro mengaku para sukarelawan tak hanya harus berhadapan dengan sifat-sifat keluarga yang unik sekaligus rumit itu. Saat dia harus menjemput jenazah warga asal Gunungkidul yang meninggal di salah satu hotel kawasan Kota Jogja, di dalam kamar hotel Endro menemukan nota swab test Covid-19 di meja kecil.
“Apakah jenazah statusnya PDP atau tidak, tidak ada datanya. Mulai dari dinas yang berwenang, semua instansi, enggak ada yang berani menangani jenazah itu. Terus gimana? Enggak mungkin kami biarkan jenazah itu enggak terurus. Kami langsung tangani. Kadang harus berani pangkas birokrasi, atas nama kemanusiaan,” kata Endro.
Endro mengakui saat ini para sukarelawan selalu berusaha bergerak lebih cepat daripada keputusan birokrasi. Di lapangan, mereka mengandalkan jejaring relawan di tiap Kabupaten untuk mengurus pemakaman, proses negosiasi dengan keluarga, tracing anggota keluarga, hingga menerima laporan dari masyarakat setempat.
Belum selesai bercerita, seorang staf dari salah satu organisasi perangkat daerah (OPD) datang tergopoh-gopoh menghampiri Endro sambil membawa map biru. Dia mengadukan beberapa instansi pemerintah yang mengajukan permohonan penyemprotan disinfektan di beberapa sekolah. Endro menghela napas berat.
“Sudah sejak bulan lalu kami nolak penyemprotan disinfektan buat kantor OPD, termasuk sekolah-sekolah. Mereka [OPD] kan punya dana dan SDM sendiri? Yang ada di kami itu terbatas,” kata Endro.
Begitu lah siang yang rumit di posko berakhir. Tak lama kemudian, Endro, Agus dan relawan lain bersiap menjemput misi baru mereka. Meski beberapa dari mereka ada yang belum pulang ke rumah masing-masing selama dua pekan, raut semangat dari wajah mereka tetap terlukis jelas.