Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

IMF Percepat Penyaluran Pinjaman Negara Berkembang

IMF akan mengerahkan kapasitas pinjaman sebesar US$1 triliun untuk menghadapi resesi yang menurutnya akan jauh lebih buruk daripada krisis keuangan global 2008-2009.
Logo The International Monetary Fund (IMF)./Reuters
Logo The International Monetary Fund (IMF)./Reuters

Bisnis.com, JAKARTA - Dana Moneter Internasional atau IMF akan mengalami kebanjiran permintaan pinjaman dari negara berkembang di tengah penanganan pandemi vorus corona. Menuju pertemuan musim semi pekan depan, IMF mempertimbangkan sejumlah rencana.

Direktur Pelaksana IMF Kristalina Georgieva berupaya mendapatkan persetujuan dewan untuk instrumen yang memungkinkan peminjaman dilakuka secepat mungkin.

Rencana pertama yakni menggandakan US$50 miliar yang tersedia melalui dua mekanisme pembiayaan darurat karena negara anggota telah meminta sekitar setengah dari sumber daya yang ada. Rencana lain, IMF akan menyediakan pinjaman jangka pendek untuk sekelompok kecil negara terkuat guna menghindari krisis uang tunai.

Georgieva berjanji untuk mengerahkan kapasitas pinjaman IMF sebesar US$1 triliun untuk menghadapi resesi yang menurutnya akan jauh lebih buruk daripada krisis keuangan global 2008-2009. IMF bulan lalu menyetujui perubahan untuk memberikan keringanan utang hingga dua tahun pada pinjamannya ke negara-negara berpenghasilan rendah melalui hibah dari negara-negara donor.

"Tantangan untuk dana tersebut adalah menyediakan uang dengan cepat. Ada kebutuhan akan lebih banyak cadangan di seluruh dunia dalam menghadapi guncangan yang lebih besar dari yang diperkirakan dan benar-benar global," kata Brad Setser, seorang ekonom di Departemen Keuangan AS, dilansir Bloomberg, Kamis (9/4/2020).

Adapun rencana ketiga yang diperjuangkan oleh Georgieva dan Presiden Bank Dunia David Malpass yakni mendesak negara kaya yang memiliki piutang dengan negara miskin untuk menunda pembayaran utangnya. Anna Gelpern, Sean Hagan dan Adnan Mazarei di Institut Peterson untuk Ekonomi Internasional mengatakan hal itu akan membantu negara-negara miskin dan memastikan sumber daya IMF digunakan untuk respons krisis daripada membayar kreditur.

Bank Dunia bulan lalu memperkirakan bahwa US$14 miliar pembayaran layanan akan jatuh tempo tahun ini, dengan kurang dari US$4 miliar yang terutang kepada Paris Club of countries yang mengoordinasikan solusi berkelanjutan pada saat kesulitan bagi negara-negara debitur.

Artinya, menggandeng China sebagai kreditur resmi terbesar yang tidak termasuk dalam kelompok itu dan pemberi pinjaman utama kepada negara-negara miskin melalui Belt and Road Initiative, adalah kunci untuk mendapatkan kesepakatan di antara G20, yang mewakili 85 persen dari produk domestik bruto global dan sebagian besar pinjaman.

"China sampai saat ini belum bersedia melakukannya dalam konteks Paris Club, tetapi mungkin bersedia melakukannya dalam konteks kerangka koordinasi yang lebih luas. Saya relatif optimistis," kata Hagan.

Kreditur swasta juga perlu dimasukkan untuk memastikan pemerintah tidak hanya mendukung pembayaran kepada perusahaan investasi yang memiliki obligasi dari negara-negara miskin.

IMF saat ini mencari berbagai opsi. Salah satu yang didukung Georgieva adalah untuk menciptakan jalur peminjaman jangka pendek atau likuiditas, seperti halnya pertukaran dolar Federal Reserve untuk bank-bank sentral asing.

Gagasan lain yang terbukti lebih kontroversial yaitu meningkatkan sumber daya dana dengan menciptakan lebih banyak aset cadangan yang disebut hak penarikan khusus, atau SDR, seperti yang dilakukan IMF dalam krisis keuangan global 2009.

Sementara Georgieva telah meminta G20 untuk mendukungnya.

Namun, hal itu bukan cara yang paling tepat sasaran untuk mendapatkan uang bagi negara-negara yang paling membutuhkan, karena aset secara otomatis diberikan kepada semua anggota IMF sesuai proporsi dengan hak suara mereka.

Pemegang saham terbesar termasuk AS, Jepang, dan China akan secara otomatis mendapatkan SDR terbanyak. Dengan demikian, hanya sebagian kecil saja yang akan mengalir ke negara-negara berpenghasilan rendah.

"Ini tidak terlalu praktis atau efisien, karena uang itu berakhir di tempat Anda tidak membutuhkannya," kata Mark Sobel, seorang pejabat Departemen Keuangan lama dan mantan direktur eksekutif IMF AS.

Namun, jalur likuiditas jangka pendek akan menjadi target yang lebih baik dan itu mendapat dukungan dari Departemen Keuangan AS. Georgieva mengatakan bahwa dewan IMF akan meninjaunya segera.

"Dengan pasar negara berkembang menghadapi masalah likuiditas substansial, swap line tampaknya menjadi perangkat yang lebih relevan untuk saat ini karena lebih tepat sasaran, secara teoritis akan memberikan lebih banyak aset likuid, dan mungkin lebih dapat digunakan," kata Presiden Institute of International Finance Tim Adams, yang juga mantan wakil menteri keuangan dalam pemerintahan George W. Bush.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Reni Lestari
Sumber : Bloomberg
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper