Bisnis.com, JAKARTA - Pengamat Politik dari Universitas Paramadina Ahmad Khoirul Umam menilai perbaikan indeks persepsi korupsi di Indonesia patut diapresiasi.
Akan tetapi, indeks persepsi korupsi tersebut tidak mengakomodir kondisi terakhir di komisi antirasuah sejak akhir 2019 lalu.
Transparency International merilis indeks persepsi korupsi atau Corruption Perception Index 2019 di Indonesia berada di peringkat 85 dari 180 negara dengan skor 40.
Perolehan skor ini naik dua poin dibandingkan 2018 yaitu 38 poin dengan menempati peringkat ke 89 dari 180 negara.
“Konteksnya capaian ini harus diapresiasi, tapi kenaikan dua poin ini tidak mengcover kontroversi KPK kemarin,” katanya kepada Bisnis di Jakarta, Kamis (23/1/2020).
Pasalnya survey tersebut dilakukan mulai pada Agustus - Oktober. Namun masalah ditubuh KPK mulai muncul sejak akhir Oktober hingga Desember.
Kontroversi yang dimaksud misalnya mulai berlakunya UU KPK nomor 19/2019. Berlakunya regulasi itu menandakan mulai adanya Dewan Pengawas di tubuh komisi antirasuah itu.
Selain itu pemilihan komisioner KPK juga menyita perhatian publik. Sebab, Ketua KPK Firli Bahuri merupakan polisi aktif saat itu sehingga memunculkan penolakan di publik.
Kendati masuk dalam penilaian untuk tahun ini, namun diperkirakan akan tenggelam karena masa survey baru akan dilakukan akhir tahun nanti.
“Kalau misal KPK harus hadapi realita, bahwa pelemahan yang diakibatkan UU [KPK] itu semakin nyata. Urusan kemarin berkaitan dengan surat izin dari Dewas belum turun untuk penggeledahan [Kantor PDIP] itu kan sebenarnya satu fakta yang tidak terbantahkan,” terangnya.
Namun demikian dia mengharapkan KPK tetap fokus pada komitmen antikorupsi meskipun mulai terlihat sejumlah penghalang. Apalagi mesin utama komisi itu katanya, bukan di level pimpinan namun di penyidik.
Di sisi lain, dia mendorong keterlibatan wistle blower kian ditingkatkan sebagai salah satu upaya checks and balance di lembaga itu dalam menangani tiap perkara.