Bisnis.com, JAKARTA - Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Sultan Najamuddin mengatakan setuju, kalau ada wacana untuk menjadikan wakil presiden di masa datang merupakan representasi daerah guna memperkuat peran dan simbol kedaerahan dalam ketatanegaraan Indonesia.
“Saya setuju dengan usulan itu untuk penguatan simbol dan peran daerah. Presiden diusung partai politik, lalu wakilnya diserahkan pada perwakilan daerah,” ujarnya dalam acara Refleksi Akhir Tahun 2019” bersama Ketua MPR Bambang Soesatyo (Bamsoet) di Gedung DPR, Rabu (18/12/2019).
Dia mengatakan kalau wacana itu terwujud dalam sistem pemilihan presiden maka setidaknya akan mengurangi potensi benturan karena adanya aspirasi daerah yang terwakili.
Selain itu, katanya, Indonesia akan bisa lebih konsentrasi membangun ekonomi tanpa banyak menghabiskan uang negara untuk kegiatan politik yang sering menguras dana dan tenaga.
Senator asal Provinsi Bengkulu itu mengingatkan selama ini peran DPD dalam konstitusi belum sebanding dengan kekuatan representasi yang dimilikinya. Karena itu, dia mengatakan dalam amendemen UU Negara Republik Indonesia, perlu dilakukan penguatan peran dan kewenangan perwakilan daerah tersebut.
Dia mengatakan rata-rata raihan suara seorang anggota DPD lebih tinggi daripada anggota DPR sehingga legitimasi politinya kuat.
Baca Juga
Bahkan, ada anggota DPD yang meraih suara 20 persen dari jumlah pemilih di daerah pemilihannya.
“Kekuatan representasi yang dimiliki anggota DPD belum sebanding dengan kewenangan konstitusional yang dimilikinya,” ujar Najamuddin.
Sementara itu, Bamsoet mengatakan sistem pemilu legislatif di Indonesia lebih banyak berbicara soal angka-angka ketimbang aspirasi kelompok atau warga masyarakat secara umum.
Menurutnya, pemilu seharusnya lebih banyak menggambarkan aspirasi sehingga sistem demokrasi akan berkembang dengan baik.
Karena itu, dia setuju kalau ke depan akan ada kembali wakil golongan di MPR dari berbagai kalangan maupun profesi.
“Pemilu kita masih banyak bicara soal angka-angka, bukan aspirasi,” katanya.
Dia mengakui pemilu di Indonesia berbiaya tinggi karena tingginya biaya politik. Meski banyak kader yang punya ideologi baik dan telah lama menjadi kader, namun kalau tidak punya cukup dana untuk biaya kampanye, akan sulit untuk terpilih.
“Mereka yang sudah berdarah-darah membesarkan partai akan dengan mudah digantikan mereka yang punya modal,” ujarnya dalam refleksi yang mencermati perkembangan politik selama tahun 2019 tersebut.