Bisnis.com, JAKARTA - Kemenangan Boris Johnson pada pemilu Inggris memberikannya wewenang penuh atas penyelesaian Brexit, yang menunggu untuk direalisasikan sejak Referendum 2016.
Ukuran mayoritas anggota parlemen Konservatif memberikan Johnson kebebasan untuk membawa Inggris keluar dari Uni Eropa pada Januari setelah hampir 4 tahun terhambat.
Sejak menggantikan Theresa May, Johnson kerap kali mengatakan kepada masyarakat untuk melanjutkan agenda Brexit, tetapi dia tidak pernah dengan jelas menggambarkan bentuk praktiknya.
Begitu Inggris meninggalkan Uni Eropa, hal pertama yang harus dilakukan adalah menyetujui kesepakatan perdagangan dengan Uni Eropa paling lambat 2020.
"Jika Johnson menginginkan akses ke pasar tunggal blok Eropa, dia harus menyerahkan kendali di beberapa bidang khususnya perpajakan, tenaga kerja, dan standar lingkungan," seperti dikutip melalui Bloomberg, Kamis (13/12/2019).
Kelompok garis keras dari partainya justru keberatan dengan hal itu, dan mendorong putus hubungan secara utuh dengan Uni Eropa.
Meski demikian, kemungkinan terbesarnya adalah Johnson akan bernegosiasi dengan kubunya dan membuat kesepakatan yang tetap membuat Inggris 'dekat' dengan Uni Eropa.
Yang pasti, tidak ada cukup waktu untuk menyelesaikan Brexit pada tenggat waktu yang diberikan Komisi Eropa, 31 Januari 2020.
Bloomberg memperkirakan, pekan depan Johnson harus bergerak cepat untuk memberlakukan RUU Penarikan Inggris, undang-undang resmi yang akan melepaskan mereka dari Uni Eropa.
Oleh karena semua kandidatnya telah berjanji untuk mendukung undang-undang itu, Johnson tidak akan menghadapi hambatan di Parlemen.
Jika berjalan lancar, memasuki musim semi dan musim panas, fokus pemerintah akan tertuju pada negosiasi perjanjian dagang dengan Uni Eropa.
Negosiasi ini harus selesai dalam waktu kurang dari 11 bulan, yang normalnya butuh waktu hingga bertahun-tahun untuk diselesaikan.
Johnson harus terlebih dahulu mendapatkan dukungan dari parlemen terhadap rencananya sebelum berdiskusi dengan Brussels, Proses ini dipastikan akan memakan banyak waktu yang tersedia pada masa transisi yang krusial.
Kontradiksi yang harus diselesaikan oleh Johnson dalam isu perdagangan adalah keinginannya untuk mendapatkan otonomi dari peraturan dagang Uni Eropa serta akses ke pasar tunggal Eropa.
Sebelumnya, Uni Eropa telah mengindikasikan bahwa mereka bersedia memberi Inggris kesepakatan nol-tarif dan nol-kuota, dengan syarat Inggris tidak menerapkan aturan yang kompleks.
Inggris dan Uni Eropa memiliki waktu hingga 1 Juli untuk memutuskan apakah akan memperpanjang periode transisi hingga dua tahun lagi, jika kedua belah pihak membutuhkan lebih banyak waktu untuk negosiasi.
"Jika transisi tidak diperpanjang, Inggris dan Uni Eropa akan menghadapi enam bulan yang intens untuk menyelesaikan kesepakatan," dikutip melalui Bloomberg.
Hari pertama pada 2021 akan menandai awal hubungan Inggris dengan Uni Eropa.
Entah itu dengan tercapainya sebuah kesepakatan pada masa depan atau Inggris akan melakukan perdagangan dengan Uni Eropa berdasarkan pada aturan WTO, yang akan menjadi skenario no-deal Brexit.