Bisnis.com, JAKARTA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memastikan akan menuntaskan penyidikan kasus dugaan suap pengadaan pesawat dan mesin pesawat dari Airbus S.A.D dan Rolls-Royce P.L.C pada PT Garuda Indonesia Tbk (GIAA) dalam 30 hari ke depan.
Hal ini menyusul perpanjangan masa penahanan terhadap pendiri PT Mugi Rekso Abadi sekaligus Beneficial Owner Connaught International Pte. Ltd Soetikno Soedarjo pada Kamis (31/10/2019).
Tim penyidik kembali memperpanjang masa penahanan terduga pemberi suap pada tersangka mantan Direktur Utama Garuda Emirsyah Satar selama selama 30 hari ke depan terhitung 5 November 2019 hingga 4 Desember 2019.
Dengan waktu tersebut, tim penyidik KPK harus segera menuntaskan penyidikan kasus Garuda sebelum dilimpahkan ke penuntutan tahap dua.
Hal ini mengingat perpanjangan penahanan yang dilakukan kali kedua setelah Oktober lalu tersebut merupakan yang terakhir.
Adapun dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), KPK hanya diberi kewenangan maksimal 120 hari untuk menahan seorang tersangka.
"Kami akan menyelesaikan penyidikan ini paling lambat dalam waktu 30 hari ini," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah pada Jumat (1/11/2019).
Selama penyidikan kasus ini, Soetikno untuk sementara waktu dititipkan di rumah tahanan Pomdam Jaya Guntur sejak 7 Agustus 2019. Dia baru ditahan setelah sekian lamanya ditetapkan sebagai tersangka.
"[Setelah penyidikan selesai] nanti penyidik akan menyerahkan ke penuntut umum untuk segera di sidang," ujar Febri.
Tak hanya Soetikno, penyidik juga masih memiliki pekerjaan lain untuk menuntaskan penyidikan Emirsyah Satar dan mantan Direktur Teknik dan Pengelolaan Armada Garuda Indonesia Hadinoto Soedigno yang juga tersangka.
Dalam perkara ini, Emirsyah diduga menerima suap 1,2 juta euro dan US$180.000 atau senilai total Rp20 miliar serta dalam bentuk barang senilai US$2 juta yang tersebar di Singapura dan Indonesia dari perusahaan manufaktur asal Inggris, Rolls-Royce.
Suap tersebut berkaitan dengan pembelian 50 mesin pesawat Airbus SAS selama periode 2005—2014 pada PT Garuda Indonesia, yang diduga diterima dari pendiri PT Mugi Rekso Abadi sekaligus beneficial owner Connaught International Pte. Soetikno Soedarjo, selaku perantara suap.
Dalam perkembangannya, KPK juga mengidentifikasi dugaan suap lainnya terkait pembelian pesawat Airbus, Avions de Transport Regional (ATR) dan pesawat Bombardier.
KPK sebelumnya menemukan fakta yang signifikan bahwa aliran dana yang diberikan tidak hanya berasal dari perusahaan Rolls-Royce, melainkan juga dari pihak pabrikan lain yang mendapatkan proyek di PT Garuda Indonesia.
Emirsyah Satar saat menjabat direktur utama Garuda melakukan beberapa kontrak pembelian dengan empat pabrikan pesawat pada 2008—2013 dengan nilai miliaran dolar Amerika Serikat.
Kontrak itu yakni pembelian mesin Trent seri 700 dan perawatan mesin (Total Care Program) dengan Rolls-Royce, kontrak pembelian pesawat Airbus A330 dan Airbus A320 dengan perusahaan Airbus S.A.S, dan kontrak pembelian pesawat ATR 72-600 dengan perusahaan Avions de Transport Regional (ATR).
Selain itu, kontrak pembelian pesawat Bombardier CRJ 1000 dengan perusahaan Bombardier Aerospace Commercial Aircraft. Selaku konsultan bisnis atau komersial dari Rolls-Royce, Airbus dan ATR, Soetikno diduga telah menerima komisi dari tiga pabrikan tersebut.
Selain itu, Soetikno diduga menerima komisi dari perusahaan Hong Kong bernama Hollingsworth Management Limited International Ltd (HMI) yang menjadi Sales Representative dari Bombardier.
Pembayaran komisi tersebut diduga terkait dengan keberhasilan Soetikno membantu tercapainya kontrak antara PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk., dan empat pabrikan tersebut.
Soetikno selanjutnya memberikan sebagian dari komisi tersebut kepada Emirsyah Satar serta pada mantan Direktur Teknik dan Pengelolaan Armada Garuda Hadinoto sebagai hadiah atas dimenangkannya kontrak oleh empat pabrikan.
Soetikno diduga memberi Emirsyah Satar senilai Rp5,79 miliar untuk pembayaran rumah di Pondok Indah, US$680.000 dan 1,02 juta euro yang dikirim ke rekening perusahaan milik Emirsyah Satar di Singapura, dan Sin$1,2 juta untuk pelunasan apartemen milik Emirsyah Satar di Singapura.
Keduanya kemudian dijerat KPK dengan dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU).