Bisnis.com, MANILA – Peran pemerintahan di negara-negara berkembang di kawasan Asia dan Pasifik untuk aktif mendorong perkembangan sektor pertanian menjadi sorotan, seiring dengan kondisi kemiskinan yang menjerat masyarakat di sektor tersebut.
Hal itu mengemuka dalam Forum Ketahanan Pangan dan Pembangunan Perdesaan atau Rural Development and Food Security Forum 2019 yang digelar oleh Asian Development Bank (ADB) di Manila, Filiphina, Senin (28) – Rabu (30/10/2019).
Mengacu ADB, sebagian besar pemerintah belum memberikan dukungan yang memadai dan efektif untuk mendukung sektor pertanian. Hal itu terutama terjadi di negara-negara berkembang di kawasan Asia dan Pasifik.
Transformasi yang terjadi di sektor pertanian di negara-negara maju dalam 40-80 tahun terakhir, seperti peningkatan skala bisnis dan mekanisasi, justru tidak terjadi di negara berkembang.
“Tidak ada satu pun di negara-negara di dunia, yang sektor pertaniannya makmur, tanpa dukungan aktif dan efektif dari pemerintah,” ujar Akmal Siddiq, Kepala Grup Pembangunan Perdesaan dan Ketahanan Pangan (Pertanian) ADB, kepada Bisnis.com.
Alih-alih pemerintah, lanjutnya, tren yang terjadi di negara berkembang justru berkebalikan. Sektor swasta lebih berperan. “Riset, mengumpulkan informasi, edukasi, pengawasan, semuanya ada di tangan pemerintah. Pemerintah yang mampu mendorongnya,” ujarnya.
Pemerintah, lanjutnya, harus melakukan intervensi untuk membantu para petani kecil memperbesar skala bisnisnya. Demikian pula untuk mengadopsi teknologi yang cocok.
Presiden ADB Takehiko Nakao menyebutkan, masyarakat pertanian merupakan golongan yang paling rentan terpapar kemiskinan.
Saat ini, ujarnya, lebih dari 300 juta warga hidup di bawah garis kemiskinan. Sebanyak 900 juta orang hidup dengan pendapatan kurang dari US$3,2 per hari.
Orang-orang tersebut dalam risiko terus menerus, yang bisa menyebabkan mereka kembali ke tingkat kemiskinan ekstrim, dengan pendapatan kurang dari US$1,9 per hari.
“Risiko kemiskinan lebih tinggi di wilayah perdesaan dibandingkan dengan perkotaan. Di banyak negara, petani tidak mampu memenuhi pendapatan yang layak untuk hidup,” ujar Nakao.
Mengacu ADB, sebanyak lebih dari 90% petani di kawasan adalah pemilik lahan kecil dengan luas lahan kurang dari 2 ha. Di sisi lain, para petani kecil itu berkontribusi memproduksi sebanyak 80% dari total pangan.
Sebagian besar pemilik lahan tersebut hanya mampu menghasilkan sepertiga dari standar minimum pendapatan di daerah masing-masing. Hal itu memerangkap para petani dalam keterbatasan finansial secara terus menerus.
Di sisi lain, ancaman perubahan iklim yang semakin intens juga menekan pertanian skala kecil dan sistem pangan.
ADB menyebutkan sejumlah penyebab utama kondisi memprihatinkan bagi keuangan para petani kecil a.l. kapasitas usaha yang kecil dan terpecah serta minimnya akses terhadap perangkat pertanian modern mulai dari akses terhadap bibit, air, dan pupuk, mekanisasi, serta akses finasial dan pasar.
“Ada sejumlah risiko, risiko cuaca, penyakit, dan finansial. Namun, risiko risiko di pasar menjadi risiko yang paling menghancurkan pendapatan para petani. Harga produk-produk pertanian terutama,” katanya.
Oleh karena itu, ujarnya, perlu ada peningkatan signifikan dalam hal infrastruktur pasar serta kerangka peraturan dan kebijakan yang merupakan peranan pemerintah.
Persoalan lain adalah umur rata-rata petani di kawasan yakni 60 tahun. Generasi muda cenderung tidak tertarik untuk masuk sektor pertanian karena dianggap membosankan dan berpenghasilan rendah. Ada anggapan bahwa perempuan perlu mengambil alih sektor pertanian. Namun alih-alih, perempuan justru menghadapi tantangan lebih tinggi terhadap pembiayaan serta terhadap pasar.
ADB juga menilai, memberikan pelatihan kepada anak-anak muda dan perempuan dalam smart farming, pengembangan bisnis dan keuangan akan menjadi hal kritis saat memulai langkah untuk modernisasi pertanian.
Teknologi modern yang sedang berkembang yakni GIS, ICT, IoT, drone, robot, fertigation, rumah kaca, dan sebagainya sesungguhnya dapat diadopsi oleh pelaku usaha sektor pertanian skala menengah, apabila mendapatkan pelatihan yang memadai.
ADB sendiri telah menjadikan sektor pertanian sebagai salah satu prioritas utama sejak organisasi itu didirikan pada 1966. Sekarang, lanjutnya, salah satu strategi ADB adalah menemukan solusi.
“ADB berkomitmen untuk membantu negara anggota meningkatkan produktifitas dan profitabilitas masyarakat petaninya. Kita perlu memperdalam dan meningkatkan pengetahuan dan upaya bersama pemerintahan [di negara-negara anggota ADB] di seluruh dunia,” katanya.
Hal senada diakui para perwakilan petani dari sejumlah negara berkembang yang turut hadir dalam Forum Ketahanan Pangan dan Pembangunan Pedesaan.
Indra Gunawan, Petani dari Kelompok Mekar Tani di Jawa Barat, Indonesia, menyebutkan saat ini hanya petani paruh baya ke atas yang bekerja di sawah. Generasi muda memilih bekerja di sektor lain.
“Penghasilan mereka di sektor lain bisa jadi sama kecilnya dengan penghasilan bertani. Namun mereka berpikir bahwa menjadi petani menurunkan gengsi mereka,” katanya.
Ironisnya, lanjut dia, banyak petani yang sudah berumur justru mendorong anak-anak mereka untuk menjadi PNS atau karyawan swasta karena mereka pun berkipikir bahwa pekerjaan lain selain di sawah adalah pekerjaan yang lebih baik.