Bisnis.com, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memberikan sejumlah rekomendasi terkait pinjaman daerah untuk pembangunan infrastruktur, menyusul hasil kajian yang telah disusun.
Kajian juga bertujuan untuk menutup celah potensi korupsi dalam keseluruhan siklus pinjaman daerah.
Direktur Litbang KPK Wawan Wardiana mengatakan bahwa kajian dilakukan termasuk soal perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan dalam pinjaman daerah.
"Pada dasarnya, sekali lagi kami sampaikan bahwa penindakan dan pencegahan terintegrasi sudah jalan sebetulnya. Jadi, ada penindakan, berikutnya ada pencegahan yang masuk," katanya dalam pemaparan hasil kajian di KPK, Selasa (15/10/2019).
KPK mengakui bahwa meskipun pengaturan atas pinjaman daerah telah relatif ketat, namun dalam praktiknya masih terjadi korupsi.
Salah satunya adalah kasus suap yang ditangani KPK untuk memperoleh persetujuan DPRD atas pinjaman daerah yang akan dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Lampung. Permasalahan tersebut menjadi landasan KPK melakukan kajian ini.
Selain itu, pesatnya kebutuhan pembangunan infrastruktur di daerah mendorong kecenderungan meningkatnya permohonan pinjaman untuk membiayainya.
Sampai akhir Mei 2019, misalnya, di luar debitur pengalihan dari Pusat Investasi Pemerintah Kementerian Keuangan, tercatat 19 Pemda telah melakukan perikatan pinjaman dengan PT Sarana Multi Infrastruktur dengan total pinjaman sebesar Rp3,2 triliun dan melalui Bank Pembangunan Daerah sebesar Rp2,6 triliun.
Sejak 2016, juga tercatat lebih dari 50 Pemda telah mengajukan permohonan rekomendasi kepada Kemendagri untuk dapat memulai proses peminjaman. Semakin lama tren permohonan tersebut semakin meningkat.
Adapun instansi yang menjadi lokus kajian ini yaitu, Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Keuangan; Instansi daerah terdiri atas Pemprov Lampung, Pemkot Tebing Tinggi, Pemkab Gianyar, Pemkab Demak, dan Pemkab Konawe Selatan.
Kemudian, PT Sarana Multi Infrastruktur; Bank Pembangunan Daerah (BPD), dengan entitas terpilih yaitu BPD Jawa Tengah, BPD Sumatra Utara, dan BPD Sulawesi Tenggara.
Dalam hasil kajian KPK, terdapat sejumlah permasalahan dalam siklus kebijakan pemerintah daerah, yaitu pertama, Pemda tidak menyiapkan dokumen perencanaan yang memadai atas kegiatan yang dibiayai dari sumber pinjaman.
Kedua, Pemda melakukan maksimalisasi penggunaan dana pinjaman untuk pekerjaan yang berada di luar lingkup perencanaan.
Ketiga, lemahnya pengawasan terhadap perencanaan dan pelaksanaan pinjaman daerah.
Keempat, Kemenkeu belum memperhatikan kapasitas fiskal tiap daerah dalam memberikan persetujuan pelampauan defisit.
Kelima, minimnya penggunaan teknologi digital dalam proses dan penerbitan dokumen pinjaman daerah.
Terakhir, adanya pengaturan atas konten minimum yang harus tercantum pada surat pertimbangan Kemendagri.
Atas permasalahan itu, KPK merekomendasikan sejumlah hal. Pertama, Kemendagri menetapkan panduan bagi daerah dalam menyusun kerangka acuan kerja atas kegiatan yang dibiayai melalui pinjaman daerah.
Kedua, kreditur melakukan penilaian atas integritas dokumen kelayakan kegiatan. Ketiga, kreditur menjadikan probity audit sebagai syarat penarikan pinjaman dan menentukan nilai final pinjaman.
Keempat, Kemenkeu memberikan persetujuan pelampauan defisit APBD dengan memperhatikan kapasitas fiskal tiap daerah.
Kelima, kreditur tidak memperbolehkan pemerintah daerah untuk memanfaatkan SHT. Keenam, kreditur membebankan biaya provisi pinjaman secara proporsional sesuai dengan realisasi pinjaman yang ditarik oleh Pemda.
Ketujuh, Kemendagri menyusun panduan di internal dalam menyusun surat pertimbangan. Kedelapan, Kemendagri dan kreditur membangun aplikasi sistem pelayanan dan informasi berbasis web.
Kesembilan, Kemendagri membangun pola monitoring dan evaluasi atas penyelenggaraan kegiatan pinjaman daerah. Kemudian, kreditur melakukan pengawasan atas kemajuan pelaksanaan proyek.
"Sudah kami paparkan [hasil kajian], jadi teman-teman yang berkaitan disini yakni Kemendagri, PT SMI, BPD, dan asosiasi bank daerah, maupun Kemenkeu yang punya tugas masing-masing terkait pinjaman daerah," kata Wawan.
Dirjen Keuangan Daerah Kemendagri Syarifuddin mengatakan mengapresiasi langkah KPK atas kajian tersebut.
Kajian ini selanjutnya akan menjadi bahan dalam merumuskan kebijakan terkait pengelolaan pinjaman daerah ke depan.
"Harapan kita dengan perangkat dari kajian ini penelolaan pinjaman daerah ini lebih transparan dan akuntabel sehingga apa yang jadi tujuan kita terkait pengelolaan pinjaman daerah betul-betul bermuara pada kesejahteraan masyarakat," katanya.
Direktur Pembiayaan dan Transfer Non Dana Perimbangan Kemenkeu Adriyanto mengaku akan memperhatikan hasil kajian tersebut.
"Tentunya dari sisi kebijakan fiskal Kemenkeu akan memperkuat pengawasan kapasitas fiskal daerah dan bagaimana dampak dari penguatan ini tentu kami lihat dari sisi kebijakan APBN keseluruhan," paparnya.
Direktur Utama PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI) Edwin Syahruzad mengaku berkomitmen untuk memperbaiki tata kelola aktivitas pinjaman tersebut.
"Tentunya rekomendasi yang dilakukan KPK menjadi area yang sangat penting dilakukan," ujarnya.
Sementara itu, Direktur Operasional Asosiasi Bank Pembangunan Daerah (Asbanda) Subekti Heriyanto mengatakan hasil kajian tersebut akan mendukung perbaikan-perbaikan atas regulasi yang ada antara lain mendukung pertumbuhan ekonomi daerah sehingga pelaksanaan di daerah bisa lebih baik lagi.
"Karena masing masing BPD di daerah punya regulasi berbeda. Dari diskusi ini kami akan sinkronisasi regulasi antar BPD supaya kami bisa mendukung apa yang sudah disampaikan KPK supaya pelaksanaannya betul-betuk berjalan dengan baik," jelasnya.