Bisnis.com, JAKARTA — Perebutan pimpinan Dewan Pimpinan Daerah (DPD) periode 2019-2024 diperkirakan memicu perpecahan di lembaga negara tersebut setelah Tata Tertib (Tatib) pemilihan pimpinan yang disahkan dalam sidang paripurna 18 September lalu kini menjadi kontroversi.
Isyarat akan panasnya perebuatan pimpinan yang diawali dengan pembahasan Tata Tertib (Tatib) yang tidak demokratis itu kembali dipersoalkan. Sejumlah anggota DPD mempersoalkan potensi kisruh tersebut dalam sebuah diskusi panel bertajuk Membedah Tata Tertib DPD RI hari ini, Jumat (27/9/2019).
Anggota DPD dari Provinsi Riau, Intsiawati Ayus dalam diskusi tersebut mengatakan telah terjadi cacat formil pada Tatib tersebut yang meliputi penyusunan Revisi Tatib yang tidak sesuai dengan prosedur Pasal 334 dan 335 Tatib No.3/2028. Pasalnya, usulan revisi Tatib itu tidak pernah diputuskan dalam Panitia Musyawarah (Panmus) dan rapat paripurna.
“Seharusnya perubahan secara substantif dilakukan oleh Pansus. Sedangkan Badan Kehormatan (BK) hanya terkait redaksional. Tapi yang dikerjakan Tim Kerja (Timja) BK adalah perubahan redaksional dan substansia,” ujar Iin dalam diskusi tersebut.
Menurutnya, berbagai cacat formil dan cacat materil telah membuat resah dan disharmoni di kalangan anggota DPD saat ini maupun yang baru terpilih untuk periode 2019-2024. Hal itu telah terbukti ketika pengesahan Tatib dalam rapat paripurna terjadi kericuhan karena hujan interupsi termasuk melibatkan senator wanita tersebut.
“Meski disahkan, namun banyak anggota yang menolak tatib baru DPD tersebut. Saya sudah tidak tertarik membahas aspek materiil karena aspek formil saja sudah cacat,” ujar Intsiawati.
Dia juga menyoroti syarat untuk menjadi Pimpinan DPD maupun Pimpinan MPR. Dalam Tatib yang baru disebutkan mereka yang boleh menjadi pimpinan DPD dinyatakan yang tidak pernah melakukan pelanggaran Tatib dan kode etik yang ditetapkan dengan keputusan Badan Kehormatan (BK).
“Ini sangat diskriminatif. Keanggotaan baru DPD periode 2019-2024 seharusnya tidak melihat ke belakang terkait rekam jejak anggota DPD sebelumnya.
Bahkan seorang mantan narapidana berhak untuk ikut dalam Pilkada atau Pemilu legislatif,” ujarnya. Menurutnya apabila norma tersebut diterapkan maka hal itu bertetangan dengan UUD 1945 dan putusan Mahkamah Konstitusi.
Sementara itu, Senator asal Sulawesi Selatan Tamsil Linrung mengatakan pengesahan Tatib tersebut telah menyisakan persoalan yang akan memengaruhi perjalanan , eksistensi, dan marwah kelembagaan serta keanggotaan DPD ke depan.
“Cara-cara yang tidak wajar untuk memaksanakan Tatib itu terus ditentang karena dinyatakan cacat formil dan cacat materil.
Selain Intsiawati dan Tamsil, turut hadir pada acara diskusi itu mantan anggota DPD Laode Ida , amnggota DPD John Pieris serta Anggota DPD asal Sulawesi Barat, Asri Anas.