Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Pemblokiran Internet di Papua Dinilai Tidak Efektif

LP3ES mengungkapkan pemblokiran akses internet yang dilakukan pemerintah di Papua tidak efektif.
Suasana aksi unjuk rasa di Jayapura, Papua, Kamis (29/8/2019)./Antara-Dian Kandipi
Suasana aksi unjuk rasa di Jayapura, Papua, Kamis (29/8/2019)./Antara-Dian Kandipi

Bisnis.com, JAKARTA – Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) mengungkapkan pemblokiran akses internet yang dilakukan pemerintah di Papua tidak efektif.

Justru, saat ini semakin banyak aktivis yang meminta agar Kementerian Komunikasi dan Informatika segera membuka layanan Internet untuk masyarakat Papua.

Direktur Pusat Studi Media dan Demokrasi LP3ES Wijayanto mengatakan pemblokiran Internet tidak efektif karena pihak yang bersuara di media sosial justru berasal dari kota besar di Indonesia dan luar negeri.

"Mereka yang aktif di media sosial justru ada di Jakarta, Yogyakarta, Bandung, dan luar negeri, misalnya Australia, Inggris, Selandia Baru, dan Singapura. Lebih dari itu, [pemblokiran Internet] menjadi blunder yang merusak kredibilitas Pemerintah Indonesia," ungkapnya di Jakarta dalam Diskusi Online pada Kamis (29/8/2019).

Menurutnya, penutupan akses Internet sangat kontraproduktif khususnya bagi upaya pemerintah membangun simpati publik yang berada di dalam dan luar negeri terkait dengan kondisi terkini di Papua.

Dia menuturkan pemblokiran arus informasi indentik dengan upaya korupsi karena ada penyalahgunaan kekuasaan atau hal yang ingin disembunyikan oleh pemerintah.

Mengacu pada hasil temuan LP3ES dan Drone Emprit, kata Wihayanto, tren percapakan sepanjang 1 - 26 Agustus tentang West Papua cenderung naik atau lebih tinggi dibandingkan dengan hari-hari biasa. Hal itu diperparah sejak adanya aksi demo.

Research Associate LP3ES Ismail Fahmi mengemukakan jika dilihat dari peta social network, percakapan terkait isu tersebut selama ini diramaikan oleh akun-akun yang memperjuangkan kebebasan Papua, misalnya VeronicaKoman, FreeWestPapua, PurePapua, dan lainnya.

Ada pula beberapa aktivis yang tak memperjuangkan kebebasan tetapi membantu membuka koneksi Internet, seperti Damar Juniarto. Sementara itu, media paling berpengaruh dalam jaringan percakapan yaitu AJEnglish.

"Tagar [tanda pagar] yang diperjuangkan secara umum antara lain. FreeWestPapua, LetWestPapuaVote, WestPapuaGenocide memperlihatkan agenda yang diusung untuk didengar dunia internasional yaitu membela pembebasan Papua," ucapnya.

Ismail melanjutkan narasi yang dibangun oleh aktivis di media sosial saat ini, misalnya pemerintah indonesia memblokir akses internet, demo menentang rasisme, isu rasisme di Malang dan Surabaya, serta aksi demo di Papua Barat.

Para penyampai pesan (buzzer) tak lupa mengunggah tautan foto dan video berisi demo di berbagai tempat di Sorong, Manokwari, dan Jayapura.

"Ini membuktikan blokir Internet tidak menghentikan mereka menyebarkan foto dan video ke media sosial, khususnya dunia internasional. Hal ini juga mendorong masyarakat Papua dari berbagai kota turun ke jalan," tuturnya.

Lantas apa yang harus dilakukan pemerintah untuk mendinginkan gejolak di Papua saat ini? Ismail mengatakan pemerintah harus membuka akses Internet di Papua sesegera mungkin.

Kontranarasi di media sosial harus disampaikan secara jujur, bukan menggunakan computational propaganda (bot) atau buzzer yang sudah diprogram sejak awal. Pemerintah, tambahnya, harus menarik hati masyarakat Papua, bukan menang volume di media massa. Hal itu juga harus dilakukan dalam bahasa Inggris dan bahasa Indonesia.

"Kontranarasi dalam bahasa Inggris berfungsi untuk meng-counter narasi aktivis prokemerdekaan dan memperbaiki citra internasional," tutur Ismail.

Sementara itu, Wijayanto menilai pemerintah perlu segera mengambil tindakan, bukan dengan cara represif, tetapi mengedepankan pendekatan kemanusiaan. Pendekatan represif, dengan senjata ataupun represif dengan blokir media harus dihindari dan dihentikan.

Dia menegaskan negara perlu meminta maaf atas pemblokiran Internet dan kekerasan verbal (rasisme) yang telah dialami oleh saudara-suadara di Papua. "Hal ini harus juga ditindaklanjuti dengan upaya dialogis. Caranya, pemerintah menerima perwakilan masyarakat Papua untuk duduk bersama."

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper