Bisnis.com, JAKARTA – Wakil Presiden Jusuf Kalla menilai hukum yang berlaku di Indonesia belum mampu mengatasi budaya koruptif.
Hal ini disampaikan Jusuf Kalla menyikapi ditangkapnya Bupati Kudus M. Tamzil oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.
Menurut Wapres, Indonesia memiliki sejumlah instrumen hukum dan birokrasi dengan tujuan menekan tindak korupsi dalam penyelenggaraan negara.
“Semua institusi kita baik pemerintah, KPK, belum berhasil betul untuk menelaah atau menyelesaikan masalah-masalah korupsi ini,” kata Jusuf Kalla di Kantor Wakil Presiden Jakarta, Selasa (30/7/2019).
Kalla menyebutkan dalam sistem hukum Indonesia, hukum bersifat sebagai pembalasan. Setelah dijatuhi dan menjalankan hukuman maka dianggap pelaku telah menjadi orang normal. “[Artinya kalau] berbuat lagi tentu kena hukum lagi.”
Wapres menyebutkan dengan dasar hukum seperti ini, tidak serta merta pelaku korupsi berulang seperti Bupati Kudus harus dijatuhi hukuman berat apalagi hukuman mati.
“Tergantung hukumnya. Tergantung hakim. Kita tidak bisa mengahakimi orang. Bahwa dia tidak insyaf, ya benar. Tapi [hukumya ke depan] sesuai dengan hukum atas perbuatannya saja,” katanya.
Pada 2015, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Semarang menghukum Tamzil terkait dengan kasus korupsi alokasi dana sarana dan prasarana pendidikan di Kabupaten Kudus. Atas kasus itu, dia menjalani hukuman selama 22 bulan penjara.
Setelah bebas dari penjara, Tamzil kemudian maju lagi sebagai calon bupati di Pilkada Kudus 2018 dan akhirnya terpilih. Hanya saja, baru sekitar 1 tahun menjabat, dia terjaring dalam OTT komisi antirasuah.
Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan mengatakan bahwa KPK mengamankan sembilan orang dalam OTT di Kudus, Jawa Tengah.
"Beberapa saat setelah transaksi terjadi, KPK mengamankan total sembilan orang sampai saat ini. Mereka terdiri dari unsur Kepala Daerah, Staf dan ajudan Bupati, serta calon Kepala Dinas setempat," ujar Basaria.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel