Bisnis.com, MALANG—Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya menggandeng Centre for Strategic and International Studies dalam mengkaji isu-isu di bidang ekonomi nasional dan internasional.
Dekan FEB UB Nurkholis mengatakan kerja sama dengan CSIS diformalkan melalui penandatanganan MoU dalam kerangka kerja sama di bidang pertukaran informasi, penelitian bersama, kolaborasi akademik, pendidikan dan pelatihan, peningkatan SDM, serta kerja sama lainnya, baik di tingkat nasional maupun internasional.
"Prinsipnya seperti yang dikatakan rektor, universitas yang bagus ya kerja samanya harus banyak,” ujar Nurkholis, Jumat (26/7/2019).
FEB UB sebelumnya meluncurkan Brawijaya Economic and Business Forum (BRIEF) pada 30 April 2019.
Salah satu implementasi kerja sama FEB UB dan CSIS adalah penyelenggaraan Seminar Nasional, Kamis (25/7/2019). Dalam forum tersebut dibahas soal disrupsi teknologi saat ini.
Menurut Nurkholis dalam era disrupsi terjadi sebuah pergeseran atau hijrah dari pola industri gaya lama menjadi sebuah industri yang berbasiskan teknologi dan pengetahuan.
Baca Juga
Perubahan juga terjadi dari industri yang berbasiskan sumber daya menuju industri yang berbasiskan pengetahuan, dari produksi massal (mass production) menuju kolaborasi massal (mass collaboration), dari pendekatan top down menuju kolaborasi horisontal, dan dari padat karya (labour intensive) menuju padat modal dan padat teknologi (capital/technology intensive).
"Startup adalah isu yang sekarang sedang dibicarakan banyak orang dan besar sekali pengaruhnya. Kalau sudah muncul perkembangannya semakin pesat, dan itu mempengaruhi banyak sektor. Disrupsi terjadi di situ," kata Nurkholis.
Peneliti Ekonomi CSIS Adinova Fauri dalam seminar tersebut menegaskan contoh disrupsi teknologi adalah Grab. Perusahaan perjalanan yang didirikan kalangan anak muda ini berhasil memberikan kontribusi Rp46,2 triliun ($3,3 miliar) kepada perekonomian informal Indonesia tahun lalu dalam bentuk pendapatan tambahan untuk pengemudi dan pedagang makanan.
Kontribusi Grab berasal dari tiga unit bisnis perusahaan yakni GrabBike (Rp15,7 triliun), GrabCar (Rp9,7 triliun) dan GrabFood (Rp20,8 triliun).
"Bahkan, dengan adanya Grab, para pedagang makanan, yang semuanya adalah usaha mikro dan kecil, juga mengalami peningkatan rata-rata 25 persen dalam penjualan harian dari rata-rata Rp1,4 juta menjadi Rp1,85 juta," ujar Adinova.
Peneliti Senior CSIS Haryo Aswicahyono mengatakan jika menginginkan perekonomian bertumbuh, Indonesia tidak hanya berfokus pada komoditas melainkan mulai beralih ke sektor manufaktur berbasis teknologi.
Pada survei 2015 Bank Dunia, potret sektor manufaktur di Indonesia pertama adalah produk karet, plastik dan tekstil. Ini adalah sektor tertinggi yang digunakan perusahaan asing dengan lisensi teknologi.
Kedua, sektor kimia dan produk kimia. Sektor ini memiliki situs web tertinggi dan menggunakan email secara ekstensif.
"Pada inovasi produk dan proses, sektor makanan, karet & plastik adalah para pemimpin secara berurutan. Terakhir, bahan kimia dan produk kimia banyak diinvestasikan dalam R&D sementara tekstil dan garmen adalah pembelanja terendah R&D," paparnya.
Di Indonesia, kata Staf Khusus Presiden Prof Ahmad Erani Yustika, penghambat pembangunan ekonomi adalah banyaknya pengangguran setiap tahunnya.
Dari sisi penyerapan tenaga kerja, hingga Februari 2019 masih didominasi oleh pekerja berpendidikan SD ke bawah sebanyak 40,51 persen, SMP 17,75 persen, SMA sebanyak 17,86 persen, dan SMK sebanyak 11,31 persen. Penduduk bekerja berpendidikan tinggi Diploma sebanyak 2,82 persen dan Sarjana sebanyak 9,75 persen.