Bisnis.com, JAKARTA - Tim penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memanggil mantan Menteri Koordinator Ekonomi, Keuangan dan Industri (Ekuin) sekaligus Ketua KKSK periode 2000-2001 Rizal Ramli, Jumat (19/7/2019).
Dia dipanggil terkait kasus dugaan korupsi pemberian Surat Keterangan Lunas kepada pemegang saham pengendali BDNI tahun 2004 sehubungan dengan pemenuhan kewajiban penyerahan aset oleh obligor BLBI kepada BPPN.
"Yang bersangkutan dipanggil sebagai saksi untuk tersangka SJN [Sjamsul Nursalim]," ujar Juru Bicara KPK Febri Diansyah.
Pemanggilan hari ini adalah penjadwalan ulang setelah pada Kamis (11/7/2019) lalu tak dapat menghadiri tim penyidik. Ekonom Rizal Ramli sudah terlihat hadir di kantor lembaga antirasuah.
"Spesifiknya tentu nanti setelah ditanya-tanya [penyidik] kita bisa ngobrol lagi," ujarnya.
Tak hanya Rizal, KPK juga kembali memanggil Sjamsul Nursalim dan istrinya, Itjih Nursalim untuk menghadap ke penyidik, setelah pada Jumat 28 Juni lalu keduanya mangkir dengan alasan tidak jelas.
Juru Bicara KPK Febri Diansyah mengatakan telah mengirimkan surat panggilan pemeriksaan yang dikirim ke lima alamat berbeda masing-masing di Indonesia dan Singapura. Di Indonesia, dikirim ke alamat Simprug W.G 9, Grogol Selatan, Jakarta Selatan sejak Rabu (10/7/2019).
Sementara untuk alamat di Singapura, KPK mengirimkan surat panggilan pemeriksaan ke alamat 20 Cluny Road; Giti Tire Pte. Ltd. (Head Office) 150 Beach Road, Gateway West; 9 Oxley Rise, The Oaxley dan 18C Chatsworth Rd, sejak Kamis (11/7/2019).
Selain mengantarkan surat panggilan pemeriksaan tersebut, KPK juga meminta Kedutaan Besar Republik Indonesia mengumumkannya di papan pengumuman kantor KBRI Singapura.
KPK memberi kesempatan pada keduanya apabila ingin menyampaikan argumentasi, bantahan-bantahan soal kasus BLBI dengan alat bukti yang valid.
"Jika SJN dan ITN meyakini tidak melakukan korupsi sebagaimana yang diduga dalam perkara ini, maka KPK mengajak tersangka untuk menghadapi proses hukum secara terbuka," kata Febri, Kamis (18/7/2019).
Dia mengatakan proses pemanggilan ini mempertegas bahwa lembaga antirasuah tidak menghentikan penyidikan kasus Sjamsul Nursalim selaku obligor BLBI kepada Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI).
Keduanya diduga melakukan tindak pidana korupsi terkait dengan piutang petani petambak sebesar Rp4,8 triliun, yang kemudian menjadi dasar kerugian keuangan negara senilai Rp4,58 triliun dari hasil hitungan BPK.
Menurut Febri, saat dilakukan Financial Due Dilligence (FDD) dan Legal Due Dilligence (LDD) disimpulkan bahwa tersangka melakukan missrepresentasi dan aset tersebut tergolong macet sehingga dipandang terjadi misrepresentasi.
Pada 24 Mei 2007, lanjut dia, Perusahaan Pengelola Aset melakukan penjualan hak tagih hutang petambak plasma senilai Rp220 miliar, padahal nilai kewajiban Sjamsul yang seharusnya diterima negara adalah Rp4,8 triliun.
Dalam perkara ini, Sjamsul dan Itjih disangka melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.