Bisnis.com, JAKARTA - Pemerintah Indonesia kian serius untuk memindahkan ibu kota dari Jakarta. Nah, tantangan apa yang bakal dihadapi Indonesia ketika proses pemindahan ibu kota tersebut?
Indonesia bisa belajar dari pengalaman Malaysia yang memindahkan pusat pemerintahan dari Kuala Lumpur ke Putrajaya.
Publikasi ilmiah berjudul Putrajaya Administrative Centre of Malaysia Planning Concept and Implementation karya Chin Siong Ho, akademisi dari Univeritas Teknologi Malaysia, pada November 2006, sedikit mengisahkan latar belakang dilakukannya pemindahan pusat pemerintahan dari Kuala Lumpur.
Pada awal 1990-an, Pemerintah Malaysia mempertimbangkan enam wilayah yang bakal dijadikan pusat pemerintahan baru. Enam wilayah itu antara lain, North West Rawang, Janda Baik, North Port Dickson, Sepang Coast, Kenaboi Plains, dan Perang Besar [Kini bernama Putrajaya].
Akhirnya, Perang Besar pun dipilih oleh pemerintah Malaysia. Alasannya, daerah itu telah memenuhi syarat biaya akuisisi tanah dan infrastruktur, lokasi yang strategis, akses jaringan transportasi yang baik, berpotensi memberikan dampak positif kepada daerah tetangganya, adanya vegetasi alami dan bentuk tanah, serta minimnya dampak negatif kepada masyarakat lokal.
Sementara itu, The Star pada 16 September 2013 menyebutkan, Putrajaya adalah ibu kota muda yang tidak memiliki karakter dan jiwa kota besar di dunia. Namun, kota itu memiliki arsitektur yang inovatif, perencanaan kota yang berpusat pada komunitas, dan ambisi jangka panjang.
Baca Juga
Eks kebun sawit dan karet itu dipilih sebagai pusat pemerintahan baru Malaysia dengan tujuan untuk meringankan kemacetan Kuala Lumpur yang semakin parah.
Sejak mengumumkan Putrajaya sebagai pusat pemerintahan baru Malaysia pada 1993, pembangunan pertama kota baru itu baru dimulai pada Oktober 1996.
Namun, proses pemindahan pusat pemerintahan Malaysia itu menghadapi tantangan besar karena kondisi perekonomian dunia tengah dilanda krisis.
New York Times pada 27 April 1999 pun menyebutkan proyek pembangunan pusat pemerintahan baru Malaysia itu dilakukan secara 'diam-diam.'
Perdana Menteri Malaysia saat itu Mahathir Mohamad mendapat cemoohan dari pihak oposisi. Pemindahan pusat pemerintahan itu dinilai pemborosan karena memakan biaya hingga 5 miliar ringgit atau setara US$1,3 miliar.
Apalagi, kondisi ekonomi Malaysia tengah susut 6% pada 1998 akibat krisis moneter yang melanda Asean. Bahkan, Negeri Jiran sampai membatalkan beberapa proyek seperti, bandara regional, jalan raya, dan bendungan listrik tenaga air senilai US$5 miliar.
Meskipun begitu, proyek Putrajaya tetap dilanjutkan sesuai dengan rencana, tetapi dilakukan dengan hening.
Para pekerja yang diimpor dari Indonesia dan Bangladesh pun berperan besar dalam pembangunan pusat pemerintahan baru Malaysia tersebut.
Sejarawan Malaysia tentang Pengembangan Awal Kuala Lumpur Khoo Kay Kim menyebutkan, hanya ada sedikit berita terkait proyek besar Putrajaya.
"Orang-orang benar-benar tidak tahu banyak tentang proyek tersebut," ujarnya seperti dikutip dari New York Times (27/04/1999).
Padahal, Malaysia bakal meluncurkan pusat pemerintahan anyar menggantikan Kuala Lumpur itu pada bulan depan atau Mei 1999.
Keresahan Pihak Asing
Namun, pembangunan proyek Putrajaya dengan hening tanpa koar-koar ke media massa tidak menghindarkan Mahathir dari tekanan. Proses perpindahan pusat pemerintahan itu masih harus menghadapi beberapa tantangan.
Salah satunya, kedutaan besar negara lain yang enggan pindah ke Putrajaya. Apalagi, beberapa kedutaan baru saja merenovasi gedungnya.
Lalu, muncul kekhawatiran pindahnya pusat pemerintahan bakal memperumit berbagai birokrasi seperti, pengurusan visa.
Salah seorang diplomat dari negara barat sempat mengatakan, dirinya belum pernah mendengar satu kedutaan pun yang bakal pindah ke Putrajaya.
"Salah satu alasan utama kedutaan hadir di Kuala Lumpur adalah untuk urusan bisnis. Artinya, itu membuat kami [diplomat] harus berada di Kuala Lumpur," ujarnya.
Nada pesimistis juga muncul dari penasihat pemerintah Malaysia saat itu.
"Saya tidak yakin proyek itu akan berlanjut ketika rezim baru berkuasa. Kalau itu terjadi, apa yang harus kami lakukan untuk Putrajaya?" ujarnya.
Namun, pemerintahan Mahathir tidak gentar dengan itu semua. Pembangunan Putrajaya terus berlanjut. Kloter pertama pegawai negeri sipil yang pindah ke sana datang pada 1999.
Ambisi Indonesia Pindah Ibu Kota
Sementara itu, Indonesia kian matang untuk memindahkan ibu kota dari Jakarta. Apalagi, Presiden Indonesia Joko Widodo sudah menyambangi dua calon wilayah ibu kota baru yakni, Palangka Raya, Katingan, Gunung Mas, dan Bukit Soeharto. Keempat wilayah itu berada di Kalimantan Tengah dan Timur.
Menurut catatan Bisnis.com, Jokowi, sapaan Joko Widodo, mengatakan, pemilihan ibu kota ini menyangkut banyak aspek.
"Urusan banjir dan gempa mungkin di sini [calon ibu kota di Kalimantan] tidak, tetapi bagaimana dengan kesiapan infrastruktur yang harus mulai dari nol lagi?" ujarnya.
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional atau Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro mengatakan, pemerintah akan menyiapkan lahan dan membangun infrstruktur dasar. Kawasan perkotaan disebut membutuhkan lahan sekitar 40.000 hektar, dan kawasan kantor membutuhkan 2.000 hektar pada 2021.
"Itu bisa dilakukan jika pemerintah telah menyelesaikan tata ruang. Saat ini, kami sudah memiliki desain dari ibu kota baru tersebut," ujarnya.
Setelah itu, Bambang menyebutkan, aktivitas konstruksi pembangunan infrastruktur, perumahan, dan fasilitas komersial ibu kota baru akan dilakukan pada 2022 sampai 2024.
"Jadi, pada 2024 sudah ada aktivitas pemindahan ibu kota dari Jakarta ke kota baru tersebut," ujarnya.
Dengan melihat laju pertumbuhan ekonomi Indonesia yang masih ada di kisaran 5,1% dan tantangan ekonomi global, apakah pemindahan ibu kota ini bisa berjalan lancar?