Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Mengenang 146 Tahun Perang Aceh Belanda

Hari ini, 146 tahun lalu, Belanda mengeluarkan maklumat perang dengan negeri berdaulat di ujung Sumatera, Kerajaan Aceh. Aceh tidak tinggal diam. Perang selama 31 tahun itu merenggut ribuan nyawa dari kedua pihak, menjadikannya sebagai salah satu perang terdahsyat di dunia.

Bisnis.com, JAKARTA – Hari ini, 146 tahun lalu, Belanda mengeluarkan maklumat perang dengan negeri berdaulat di ujung Sumatera, Kerajaan Aceh. Aceh tidak tinggal diam. Perang selama 31 tahun itu merenggut ribuan nyawa dari kedua pihak, menjadikannya sebagai salah satu perang terdahsyat di dunia.

Perang ini bermula saat Wakil Presiden Hindia Belanda Jenderal Frederik Nicolass Nieuwenhuijzen itu mengutus seorang pegawai Pemerintah Kolonial Belanda menyerahkan surat perundingan kepada Kerajaan Aceh, Sultan Alaidin Mahmudsyah pada 22 Maret 1873.

Surat itu berisikan permintaan penghentian hubungan diplomatik antara Kerajaan Aceh dengan konsulat yang berada di Singapura. Isi surat juga menawarkan perundingan baru antara Aceh dengan pemerintah kolonial.

Pada 2 November 1871, Britania Raya membuat sebuah kesepakatan bersama dengan Belanda. Perjanjian Sumatera menghasilkan dua keputusan. Pertama, Kerajaan Britania Raya tidak mengajukan keberatan atas perluasan dominasi Belanda terhadap Pulau Sumatera dan membatalkan kesepakatan awal di Perjanjian London, 1824.

Kedua, perdagangan dan pelayaran Britania Raya (sekarang Inggris) atas Kesultanan Siak, Riau dapat dilakukan. Begitu pula pada semua kesultanan di Sumatera yang menjadi tanggung jawab Belanda.

Poin pertama perjanjian itu melatarbelakangi nafsu besar pemerintah kolonial untuk memperluas tanah jajahannya di Sumatera. Target Belanda adalah menaklukkan Kerajaan Aceh. Padahal Belanda serta Britania Raya telah mengakui kedaulatan Aceh.

“Padahal Aceh merupakan kerajaan pertama yang mengakui kedaulatan Belanda saat mereka dilanda perang. Tapi justru Belanda mengingkari dan tidak mengakui kerajaan Aceh,” kata Husaini Ibrahim, Sejarawan Aceh belum lama ini.

Sultan Alaidin Mahmudsyah yang menolak tawaran Belanda langsung melakukan hubungan diplomatik dengan Kosulat Amerika Serikat, Kerajaan Italia dan Kesultanan Usmaniyah (Turki) di Singapura. Langkah ini membuat pemerintah kolonial merasa terusik.

Setelah surat pertama ditolak, Jenderal Nieuwenhuijzen kembali mengirim utusan untuk memberi surat kedua. Isinya adalah luapan kekecewaan sang jenderal dan menuding Aceh tidak bersahabat dengan pihaknya. Belanda mengancam akan menyerang Aceh dalam 24 jam serta meminta Sultan segera diminta menjelaskan alasan penolakan surat pertama.

Ancaman ini malah menyulut nyali Alaidin Mahmudsyah. Dia menyambut ancaman Jenderal Nieuwenhuijzen dengan mengeluarkan maklumat kepada masyarakat Aceh agar bersedia perang melawan Belanda.

Hubungan Aceh dan Belanda seyogyanya berlangsung cukup baik, setidaknya sejak abad ke-16. Saat itu Kerajaan Aceh yang dipimpin oleh Sultan Alauddin Riayat Syah, mengutus tiga kepercayaannya yang dipimpin Tuanku Abdul Hamid untuk menjalin hubungan diplomatik dengan Belanda.

Kedatangan Abdul Hamid disambut oleh Pangeran Maurits dari kerajaan Belanda saat tiba di Middelburg, Ibukota Provinsi Zeeland pada Agustus 1602. Kunjungan politik itu pertama kalinya dilakukan antara Asia Tenggara dengan Eropa.

Namun takdir berkata lain, beberapa waktu berada di negeri kincir angin Abdul Hamid meninggal dunia akibat musim dingin. Jasadnya kemudian dimakamkan di pekarangan gereja, Zeeland. Belakangan pada 1940 makam itu hilang tanpa jejak akibat terjangan banjir yang melanda wilayah itu. Namun kemudian, Belanda membangun prasasti untuk mengenang duta besar kesultanan Aceh itu pada 1978.

***

Usai menerima surat balasan penolakan kedua kalinya, Pemerintah Kolonial dipimpin Jenderal Nieuwenhuijzen menyampaikan ultimatum perang terhadap Kerajaan Aceh Darussalam pada 26 Maret 1873.

Meski begitu langkah militer ini ditentang oleh sebagian kalangan di pemerintahan Belanda. Mereka menolak upaya penguasaan Belanda di Aceh. Alasan historis masa lalu menjadi persoalan utama. Namun upaya itu tidak berbuah hasil. Perang antara kolonial Belanda dan Aceh tak bisa dihindarkan.

Agresi militer pertama ini sekaligus mengakhiri hubungan baik yang terjalin lama sejak masa Sultan Alaudin Riayat Syah (berkuasa 1589 – 1604). Aceh mulai menjadi medan tempur antara penjajah dan pemilik wilayah.

Tiga batalion tempur infanteri diterjunkan. Pengerahan pasukan darat turut melibatkan ratusan 168 opsir dan 3.198 serdadu. Seratusan kuda perang, 1.000 orang hukuman, ratusan perempuan, hingga buruh diturunkan ke medan perang. Bahkan empat kapal perang lengkap dengan ratusan serdadu dan peralatan tempur semacam meriam dan mortir ikut memberi ancaman dalam agresi ini.

Belanda mengutus Mayor Jenderal Johan Harmen Rudolf Kohler untuk memimpin langsung agresi pertama itu. Dia ditunjuk pemerintah kolonial sebagai panglima tertinggi pasukan ekspedisi ke Aceh. Perang pecah saat mereka tiba Pante Ceureumen, Ulee Lheue, Banda Aceh pada 8 April 1873.

Tiba di wilayah Aceh, kohler langsung mengerahkan pasukan secara total mulai dari di pesisir. “Agresi pertama dimulai termasuk dari Pesisir Pelabuhan Ulee Lheue, Banda Aceh. Mereka mendarat sampai menyerang Masjid Raya Baiturrahman,” kata Husaini.

Dalam perang itu, masyarakat Aceh mati-matian mempertahankan Masjid Raya Baiturrahman. Pasukan Aceh habis-habisan berupaya mengalahkan kolonial. Pada perang ini, Mayor Jenderal Kohler tewas setelah terkena tembakan dari penembak jitu pasukan Aceh. Dia tewas di depat Pohon Ketapang, sebelah utara Masjid Raya Baiturrahman.

Kematian Mayjen Kohler membuat nyali pasukan Belanda menyusut. Atas permintaan Jenderal Nieuwenhuijzen, pasukan Belanda ditarik mundur pada 26 April 1873 ke Batavia (Jakarta).

Setelah kematiannya, jasad Kohler sempat dimakamkan di Jakarta. Setelah itu, GubernurAceh mengizinkan jasad Kohler ikut dimakamkan di komplek pemakaman Belanda di Banda Aceh atau Kerkhof Peutjut.

Menjelang pergantian tahun, kolonial kembali melakukan penyerangan. Pengerahan pasukan bahkan lebih besar dibanding agresi pertama. Setidaknya 8.500 militer dan 4.300 pekerja yang umumnya orang hukuman. Belanda bahkan menambah pasukan militernya hingga 1.500 prajurit. Agresi kedua ini dimulai pada 20 November 1873. Sedangkan prajurit Aceh tidak kalah semangat. Mereka menggaungkan perang sabil atau perang suci melawan kafir.

Pada agresi kedua ini, kolonial berhasil menguasai Masjid Raya Baiturrahman dan Istana Darul Duniya Pusat Kerajaan Aceh di Banda Aceh. Meski begitu pemerintahan Aceh berjalan stabil. Hanya pusat pemerintahan terus berpindah-pindah. Mulai dari Indrapuri, Aceh Besar hingga sempat berada di Keumala, Pidie.

Di tengah perang yang sedang berkecamuk Sultan Alaidin Mahmud Syah wafat pada 26 Januari 1874. Kepemimpinan Aceh kemudian digantikan oleh Muhammad Dawood. Dia dinobatkan sebagai sultan di Masjid Indrapuri, Aceh Besar. Padahal Muhammad Dawood masih berusia belia.

Perang pertama dan kedua berjalan cukup frontal. Puluhan ribu nyawa terenggut dari kedua pihak. Orientalis Snouck Horgronje mengakui dalam tulisannya bahwa semangat orang Aceh dalam perang melawan penjajah dilandasi oleh ajaran agama Islam yang cukup mengakar.

Perang tahap ketiga (1881 – 1896) dikenal lebih bengis. Belanda sampai-sampai menggunakan pasukan khusus serdadu Marsose alias Korps Marechaussee te Voet, satuan militer Tentara Kerajaan Hindia Belanda.

Prajurit Marsose bukan tentara Belanda asli. Mereka merupakan serdadu bayaran dari Indonesia yang kebanyakan berasal dari Pulau Jawa dan Maluku. Mereka masuk ke daerah pedalaman untuk mencari sisa-sisa pejuang di wilayah itu.

Belanda menjalani misi licik untuk menaklukan Aceh. Mereka sampai memerintahkan Snochk untuk turun ke pedalaman mengajari ilmu agama sesat kepada masyarakat. Sebelum ke Aceh, dia diperintah untuk belajar Islam dalam beberapa waktu sampai fasih berbahasa Arab.

Tentara kolonial sampai melakukan penculikan pada keluarga sultan untuk meminta Sultan Muhammad Dawood Syah berunding. Perundingan yang berlangsung di Sigli pada 1903 itu malah dijadikan kolonial menawan sultan dan membawanya ke Banda Aceh.

Setiba di Banda Aceh, sultan dipaksa untuk meneken penyerahan kekuasaan Aceh terhadap Belanda. Namun ditolak tegas. Dia akhirnya ditawan dan ditempatkan di sebuah rumah kawasan Keudah, Banda Aceh. Rakyat Aceh mulai berperang secara bergerilya untuk melawan penjajahan. Penyerbuan terkadang tidak melalui perintah sultan.

Pada saat tertawan, sultan masih bisa mengirimkan surat atas nama Kerajaan Aceh kepada Konsulat Jepang di Singapura. Dia meminta agar Nipon mau mengusir Belanda dari Aceh. Namun upaya ini tercium oleh Belanda. Sultan Muhammad Dawood Syah akhirnya diasingkan di Batavia dan wafat pada 6 Februari 1939. Jasadnya dikubur di TPU Utan Kayu, Rawamangun, Jakarta Timur.

Perang Belanda di Aceh menurut sejumlah referensi berlangsung sejak 1873 hingga berakhir 1904. Namun pakar sejarah mengaku peperangan tetap terjadi hingga menjelang masuknya Jepang pada 1942.

“Di sejumlah wilayah di Aceh masih terus terjadi peperangan baik perseorangan maupun kelompok,” kata Husaini.

Perang Aceh disebut-sebut sebagai perang Belanda terlama dan terkuat. Bahkan dari lima jenderal Belanda tewas, empat diantaranya meregang nyawa di bekas kesultanan Iskandar Muda itu. Bukti peperangan Belanda di Aceh kini masih dapat dilihat jelas di Komplek Pemakaman Kohler, di Banda Aceh. Sedikitnya 2000 tentara belanda berakhir di kuburan Kerkhof Peutjut bersama Mayjen Kohler.

Menurut Rosihan Anwar dalam Sejarah Kecil “Petite Histoire” Indonesia Vol I, Perang Aceh menelan banyak biaya dan nyawa. Di pihak Aceh, empat persen penduduknya atau 70.000 orang meninggal. Dari kubu Belanda sedikitnya 35.000 serdadunya tewas.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper