Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) menuturkan sistem rekrutmen lelang terbuka dapat menekan adanya jual beli jabatan dengan syarat unsur panitia seleksi terpenuhi.
"Panselnya kan harus ada juga dari luar. Ada juga dari masyarakat, independen. Jadi kalau itu diikuti kan tidak terjadi apa-apa. Terkecuali tadi ada di luar prosedur yang terjadi," kata Jusuf Kalla (JK) di Istana Wakil Presiden, Selasa (19/3/2019).
Menurut JK meski sistem lelang terbuka dijalankan, tentu selalu ada upaya untuk mengelabui. Upaya manipulasi ini terlihat dari banyaknya kepala daerah yang ditahan oleh kepolisian atau Komisi Pemberantasan Korupsi akibat jual beli jabatan.
"Jadi dimana-mana bisa terjadi. Bisa saja. Tetapi kalau pejabat itu khususnya eselon I kan tidak mudah, karena di samping mengalami seleksi kemudian seleksi akhir, Presiden dan saya harus menyeleksi lagi di TPA (Tim Penilai Akhir)."
Jusuf Kalla menyebut, untuk pejabat setingkat direktur, keputusan akhir berada di tangan menteri. Dia juga tidak menampik upaya lobi untuk mendapatkan jabatan juga terjadi di lembaga negara lainnya.
Pada pekan lalu, KPK menetapkan Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Romahurmuziy dan Kepala Kantor Wilayah Kemenag Provinsi Jawa Timur Haris Hasanuddin dan Kepala Kantor Kemenag Kabupaten Gresik Muhammad Muafaq Wirahadi menjadi tersangka.
KPK menyangka Romy menerima suap Rp 300 juta dari dua kepala kantor agama untuk mempengaruhi hasil seleksi jabatan pimpinan tinggi di Kementerian Agama. Komisi anti rasuah juga telah menggeledah ruang Menteri Agama dan menemukan Rp180 juta dan US$30.000.
Intervensi Partai
Jusuf Kalla menyebut bahwa dirinya berharap kasus jual beli jabatan ini tidak melibatkan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin.
"Tentu kita prihatin akan masalah ini [jual beli jabatan pada Kementerian Agama] Namun, tentu juga kita harapkan, Bapak Menteri Agama, Saudara Menteri Agama tidak terlibat langsung. Dalam hal ini. Biar kita serahkan ke KPK atau aparat hukum untuk menyelidiki kasus ini," katanya.
Jusuf Kalla menyebut dalam 20 tahun terakhir, Kementerian Agama telah tiga kali berurusan dengan penegak hukum. Perkara pertama terjadi pada era Said Agil Munawar, selanjutnya pada era Suryadharma Ali dan kali ini.
"Tentu kita sangat prihatin. Mudah-mudahan tidak lah. Kalau uang di kantor [penyitaan uang oleh KPK di ruang Menteri Agama] itu dimana-mana. Pasti kita ada menyiapkan dana cash di kantor untuk hal-hal yang penting. Kalau kantor saya digeledah pasti ada uangnya. Masak sekretaris tidak pegang uang. Kalau kita tiba-tiba mau belanja atau macam-macam, mau beli sesuatu perlu uang tunai," ujar Jusuf Kalla.