Bisnis.com, JAKARTA – Hasil Bahsul Masail Nahdlatul Ulama yang melarang penyebutan kafir bagi nonmuslim, dalam konteks warga negara, menuai banyak reaksi baik pro maupun kontra.
Bahkan ada yang mengaitkannya dengan kontestasi politik di Tanah Air lantaran NU dianggap sebagai bagian dari kubu petahana.
Pengamat Politik Universitas Islam Negeri Gunung Jati Bandung Mahbub Hefdfzil Akbar menilai, pihak yang tersinggung dengan hasil Bahsul Masail Nahdlatul Ulama itu adalah pihak yang penganut ideologi ekstrem doktrin al Bara.
Anehnya, kata Mahbub, mereka yang tak setuju pandangan NU, justru rata-rata kelompok pendukung Prabowo Subianto. Padahal, nyata keluarga besar Prabowo mayoritas kategori non muslim. Hanya Prabowo dan ayahnya yang muslim.
“Kelompok garis keras pasti menganut doktrin al bara’ ini, membenci setiap non muslim. Teroris ISIS, al Qaida, JAD dan lain-lain seringkali mengulang-mengulang doktrin ini,” kata Mahbub dalam keterangan tertulis, Rabu (6/3/2019).
Dalam beberapa tahun terakhir, lanjutnya, di dunia salafisme modern, doktrin ini gencar didakwahkan di seluruh dunia baik atas nama anti asing atau sesama muslim yang mereka tuduh kafir, bermaksiat bahkan yang menganut sistem kafir seperti demokrasi.
NU seringkali dituduh sesat oleh kelompok ini.
Menurutnya, beberapa negara di Timur Tengah juga luluh lantak oleh doktrin kebablasan dan disalahgunakan ini. Mengapa kebablasan? Karena Rasulullah SAW sendiri bergaul baik, bertransaksi dengan non muslim Madinah.
“Rasul juga tidak memanggil pamannya Abu Thalib atau Mukhayriq yang Yahudi dengan sebutan ‘Hei Kafir’,” katanya.
Para penganut ideologi al bara’ kata dia, merasa terhujam hulu hati doktrinnya karena selama ini itulah dakwah mereka.
TIDAK MEREVISI
Adapun cibiran bahwa hasil Bahtsul Masail dituduh ingin merevisi kata kafir dalam Alquran sungguh mengada-ada. Yang dibahas adalah konteks nation state, wilayah fiqh siyasah bukan wilayah aqidah. Ini sudah sangat jelas.
“Ada juga yang tersinggung bukan karena hal-hal di atas, tapi gara-gara politik karena banyak kiai sepuh NU yang mendukung 01,” kata dia.
Untuk golongan faham ini, katanya, tak perlu didebat secara serius, apalagi disodorkan kitab. Cukup dengan mengatakan bahwa Prabowo Subianto sudah dan pasti setuju. “Pasti mingkem. Bukankah hanya Prabowo yang bisa membuat mereka moderat?” katanya.
Sementara itu, Persekutuan Gereja Indonesia (PGI) menyebut istilah kafir dapat memunculkan stigma negatif terhadap warga negara non-muslim.
Jika ini dibiarkan, kata dia, berpotensi memunculkan permusuhan antarumat beragama. “Penyebutan istilah kafir terhadap seseorang mengganggu persaudaraan kita,” kata Umum PGI Henriette Hutabarat Lebang.
Istilah kafir, lanjut Sekretaris Umum PGI Ghomar Gultom sebaiknya digunakan dalam internal agama dan tak perlu dibawa ke ruang publik.
Menurutnya, istilah itu sebaiknya dengan warga negara saja. “Saat menyangkut ruang publik, baiklah kita pakai warga negara saja,” kata Ghomar.
Munas Alim Ulama NU yang diselenggarakan di Banjar, Jawa Barat pada 27 Februari-1 Maret 2019 menelurkan rekomendasi untuk tidak memanggil umat non-muslim dengan sebutan kafir.
Ketua Umum PBNU Said Aqil Siradj menilai istilah kafir bagi sebagian kelompok non-muslim mengandung unsur kekerasan teologis. Istilah tersebut juga tidak dikenal dalam sistem kewarganegaraan.
Setiap warga negara memiliki hak yang sama di mata konstitusi. Ada pun, Said menjelaskan istilah kafir hanya berlaku ketika Nabi Muhammad SAW berada di Makkah. Istilah tersebut diperuntukkan kepada orang-orang yang menyembah berhala, tidak memiliki kitab suci serta agama yang benar.
“Ketika Nabi Muhammad hijrah ke Madinah, tidak ada istilah kafir bagi warga Madinah. Ada tiga suku non-muslim di Madinah, di sana non-muslim tidak disebut kafir,” kata Said.