Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Jokowi Jangan Hanya Fokus Soal Lahan Prabowo, Ini Saran KPA

Polemik terkait lahan ribuan hektare milik capres nomor urut 02 Prabowo Subianto yang kerap disindir oleh petahana Joko Widodo, mendapat sorotan dari Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) agar tak berhenti sebagai isu elektoral.
Capres nomor urut 01 Joko Widodo (kiri) dan Capres nomor urut 02 Prabowo Subianto (kanan) /Bisnis-Nurul Hidayat
Capres nomor urut 01 Joko Widodo (kiri) dan Capres nomor urut 02 Prabowo Subianto (kanan) /Bisnis-Nurul Hidayat

Bisnis.com, JAKARTA — Polemik terkait lahan ribuan hektare milik capres nomor urut 02 Prabowo Subianto yang kerap disindir oleh petahana Joko Widodo, mendapat sorotan dari Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) agar tak berhenti sebagai isu elektoral.

Sekretaris Jenderal KPA Dewi Kartika, yang juga ditunjuk sebagai panelis pada Debat Capres II, menjelaskan beberapa catatan kepada Jokowi sebagai Presiden aktif hingga Oktober 2019.

"Sebaiknya masalah yang muncul saat Debat Pilpres kemarin soal kepemilikan tanah atau penguasaan tanah oleh para tuan tanah skala besar, sebaiknya tidak berhenti soal politisasi atau elektoral," jelas Dewi kepada Bisnis, Senin (25/2/2019).

KPA berharap, pertama, Jokowi perlu melakukan review kebijakan reforma agrarianya lewat koordinasi dengan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) dan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK).

"Nah, sebaiknya bapak Jokowi menggunakan momentum soal isu para tuan tanah skala besar ini, untuk memanggil dua menteri terkait reforma agraria. Jadi bukan sekadar memanggil tuan tanah terutama tuan tanah di 02," ungkapnya.

"Dicek sebenarnya yang real dari progress atau realisasi target 9 juta hektar untuk diredistribusikan ke rakyat khususnya petani itu, sudah sampai mana?" tambah Dewi.

Sebab, KPA menyatakan bahwa salah satu hambatan dalam menyelesaikan konflik agraria, berakar akibat pemerintah masih diskriminatif terhadap data-data dari masyarakat. Sehingga program bagi-bagi sertifikat dan lahan konsesi yang telah didorong Jokowi, masih belum bisa menyentuh akar permasalahan konflik agraria.

"Bahwa sertifikasi lebih cepat, iya. Tetapi ada satu pertanyaan, tanpa restrukturisasi penguasaan dan kepemilikan, tanpa menyelesaikan konflik, sebenarnya kita tidak sedang menyelesaikan akar masalahnya," jelas Dewi.

Hal ini juga terlihat dari kebijakan satu peta (one map policy) yang masih hanya mengandalkan data kementerian, serta belum dibukanya data Hak Guna Usaha (HGU), Hutan Tanaman Industri (HTI) ataupun izin-izin tambang ke ranah publik oleh Kementerian ATR/BPN. Selain itu, dari 456 lokasi prioritas reforma agraria yang diajukan KPA ke pemerintah sejak 2016, baik di kawasan kebun atau kehutanan, baru 4 lokasi yang sanggup diselesaikan pemerintah. 

"Di sisi lain, ada 4,5 juta hektar tanah yang dijanjikan oleh Jokowi untuk diredistribusikan kepada rakyat itu mandeg. Nah, yang 4,5 juta hektar ini kan berasal dari HGU habis, lalu berasal dari HGU yang ditelantarkan oleh pemilik konsesi, dan berasal dari pelepasan kawasan hutan," ungkap Dewi.

"Misalnya di KPA sendiri dari 456 lokasi prioritas reforma agraria, 60% berkonflik dengan HGU swasta ataupun PTPN [PT Perkebunan Nusantara] yang BUMN. Nah, kalau data-data yang kita usulkan itu tidak direkognisi dengan kebijakan satu peta, otomatis ini bukan akan menyelesaikan sengkarut atau problem agraria di lapangan. Karena lagi-lagi diskriminatif terhadap data-data yang bottom up atau dari bawah," tambahnya.

Atas dasar itulah, Dewi berharap Jokowi dengan kewenangannya bisa mendorong dibukanya data seluruh HGU di Indonesia ke publik. Baru setelah itu, Jokowi bisa menyelesaikan konflik-konflik agraria secara fundamental.

"Karena dia sebagai pemerintah, sebagai kepala negara dan yang punya kewenangan saat ini, itu sudah mengantongi data-data pemilik konsesi tanah baik itu di lingkaran kekuasaan pemerintahan Jokowi saat ini ataupun itu di kelompok oposisi," jelas Dewi.

"Stop perpanjangan dan penerbitan HGU baru, baik perkebunan swasta maupun negara, sebelum semua data HGU dibuka dan dikaji ulang. Lalu presiden sesegera mungkin mengambil keputusan politik terhadap HGU yang selama ini bermasalah baik sejak proses penerbitannya maupun, yang telah menimbukan konflik agraria kronis dengan masyarakat," tambahnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper